Makalah Positivisme Logis
Positivisme logis
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Positivisme logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya pernah dekat dengan kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Asal dan Gagasan Positivisme Logis[sunting | sunting sumber]
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Kritik[sunting | sunting sumber]
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, tetapi masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, tetapi untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada zaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, tetapi jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis
Positifisme Empiris August Comte
a. Biografi August Comte
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Perancis pada tahun 1798. Comte berasal dari kaum bangsawan. Sejak mahasiswa ia dikenal sebagai pemberontak dan akhirnya dipecat karena mendukung Napoleon. Dalam karir prefesionalnya, Comte memberikan pelatihan di bidang matematika walaupun perhatian sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Dalam perjalanan karirnya, ia banyak dipengaruhi oleh Saint Simon yang mempekerjakannya sebagai sektreataris, walaupun pada akhirnya mereka masing-masing memiliki pandangannya sendiri. Sumbangsih nyata dari Comte terhadap perkembangan filsafat dibarengi pula oleh sumbangan pemikirannya terhadap sosiologi. Awal munculnya aliran positivism didasarkan kepada kepercayaan terhadap hukum-hukum alam sebagai kendali terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu, dari dasar pemikiran ini kepercayaan terhadap takhayul, ketakutan, kebodohan, dan paksaan, dan konflik sosial dihilangkan dari masyarakat. Pandangan inilah yang menjadi awal kelahiran aliran positivism.[1]
b. Pengertian Positivisme
Pengertian positif menurut Auguste Comte:
1. Sebagai pensifatan sesuatu hal yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang mengatakan bahwa filsafat positifisme itu, dalam menyelidiki obyek sasaraannya berdasarkan pada kemampuan akal, sedangkan hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan saasaaran penyelidikan.
2. Sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa didalam filsafat positifisme, segala sesuatu harrus diarahkan kepada pencapaian kemajuan.
3. Sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti. Hal ini sesuaia dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus mencapai pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat.
4. Sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Hal ini sesuai dengan ajarnnya yang menyatakan bahwa dalam pemikiran filsafati, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenei gejala-gejala yang Nampak maupun apa yang sebenarnya.[2]
c. Ajaran-Ajaran Filsafat Positifisme Adalah:
1. Hukum Tiga Tahap
Dalam karyanya Auguste Comte, dia menjelaskan bahwa sejarah umat manusia baik secara individual maupan keseluruhan, berkembang melalui tiga tahap yaitu teologi atau fiktif, metafisik, dan positif atau riel.
a. Tahap Teologi
Dalam tahap ini, mannusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujauan akhir segala sesuatu yang ada. Menurut dia tahap teologi ini akan muncul begitu saja, melalui didahului pula oleh suatu yang berkembang secara bertahap, yaitu
• Fetisyisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempumyai tanggapan bahwa segala sesuatu yang berada disekililing manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri, dan mempunyai pengaruh yang menentukan kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud segala sesuatu itu adalah gunung, sungai, pohon, dan segala sesuatu yang dibuat manusia itu sendiri.
• Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari benda-benda yang berasal dari benda-benda yang berada disekeliling manusia, melainkan dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan.
• Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lag iberasal dari dewa-dewa, melainkan berasal dari suatu yang mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
b. Tahap Metafisik
Dengan berakhirnya monoteisme berakhir pula tahap teologi, ini disebabkan karena manusia mulai merubah cara-cara berfikirnya, dalam usahanya utuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala alam. Menurut Auguste Comte, tahapini merupakan tahap peralihan sebagaimana yang dialami oleh setiap manusia. Menurut Auguste Comte dalam sejarah kehidupan manusia, yang dimaksud dengan tahap metafisik adalah tahap ketika umat manusia datang pada zaman Reinissence.
c. Tahap Positif
Tahap positif merupakan tahap dimana jiwa manusia sampai pada pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi pasti, jelas, dan bermanfaat. Tahap ini menurutnya merupakan tahap perkembangan masyarakat pada saat industrialisasisudah dapatdikembangkan, disartai peranan kaum cendekiawan dan industrialis yang bersama-sama mengatur masyarakat secara ilmiah.[3]
d. Penggolongan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan menggunakan metode-metode tertentu. Ilmu pengetahuan prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematiskan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan Auguste Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala pengetahuan yang semakin lama semakin rumit atau kompleks dan semakin kongkret. Karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahuan, Auguste Comte memulai dengan mengamati gejala-gejala yang paling sederhana, yaitu gejala yang letaknya paling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari. Urutan dalam penggolongan ilmu pengetahuan Auguste Comte sebagai berikut:
1. Ilmu pasti (matematika)
2. Ilmu perbintangan (astronomi)
3. Ilmu alam (fisika)
4. Ilmu kimia
5. Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)
6. Fisika sosial (sosiologi)
Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Auguste Comte secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagi berikut:
1. Ilmu pengetahuan
a. Logika (matematika murni)
b. Ilmu pengetahuan empiris (astronomi, fisika, biologi, sosiologi)
2. Filsafat
a. Metafisika
b. Filsafat ilmu pengetahuan
B. Logika Induksi John S. S.mill
1. Biografi John S. Smill
John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 – meninggal di Avignon, Perancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun) adalah seorang filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial. Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang merupakan inti filsafat Mill, dari ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Perancis untuk mempelajari bahasa, kimia, dan matematika
2. Pengertian Logika
Sebelum kita membahas tentang logika induksi, terlebih dahulu kita mengetahui apa itu logika. Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Mil Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematik. [4]
Logika merupakan suatu dasar untuk memperoleh pengetahuan yang benar, sebab tanpa logika penalaran tidak mungkin dilakukan, dan tanpa penalaran pengetahuan tidak akan dibenarkan. Kegiatan penalaran tidak akan lepas dari logika. Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran. Dasar penalaran logika ada dua yaitu, penalaran logika deduktif dan penalaran logika induktif.
Logika Induksi adalah sebuah proses penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu, bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi.
Menurut John Stuart Mill, penalaran logika induktif adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Contohnya,
Kuda Sumba punya sebuah jantung
Kuda Australia punya sebuah jantung
Kuda Amerika punya sebuah jantung
Kuda Inggris punya sebuah jantung
∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
Dalam logika induksi disini terbagi atas empat asumsi yaitu:
1. Generalisasi
2. Hipotesis dan Teori
3. Analogi
4. Sebab-Akibat[5]
3. Empat Macam Kejadian Logika Induksi
Pada pembahasan kali ini kita akan menjelaskan “Logika Induksi” oleh John S. Mill. Ia mengemukakan logika induksinya dengan cara menelaah sebab-akibat kejadin. Sebab-akibat yang dipaparkan oleh John S. Smill ini dibagi atas empat macam yaitu:
a. Metode Persetujuan, yaitu jika dua hal atau lebih dari fenomena yang diteliti memiliki hanya satu faktor yang sama, maka faktor satu-satunya di mana hal-hal itu bersesuaian adalah sebab (atau akibat) dari fenomena yang diteliti itu.
b. Metode Perbedaan, yaitu jika satu hal terjadi dalam fenomena yang diteliti, dan satu hal yang tidak terjadi dalam fenomena yang diteliti itu, memiliki semua faktor yang sama, terkecuali satu yang terjadi pada hal yang pertama, maka satu-satunya faktor di mana kedua hal itu berbeda adalah akibat atau sebab yang sangat menentukan sebab dari fenomena tersebut
c. Metode Persamaan Variasi, yaitu fenomena apa pun juga yang dengan suatu cara mengalami perubahan kapan pun fenomena lainnya dengan suatu cara tertentu mengalami perubahan adalah sebab atau pun akibat dari fenomena tersebut, atau berhubungan dengan fenomena tersebut selaku fakta yang menyebabkan perubahan itu.
d. Metode Residu (sisa-sisihan), yaitu dari suatu fenomena hilangkanlah bagian yang lewat berbagai induksi yang telah dilakukan sebelumnya diketahui akibat dari antesenden-antesenden tertentu, dan residu (sisa) fenomena adalah hasil dari antesenden yang masih tertinggal.[6]
Ada empat hukum dasar dalam Logika Induksi (Aristotoles, ;G.W. Leibniz, 1646-1716; John Stuart Mill, 1806-1873.
1. Hukum Identitas (Principium Identitatis/Law of Identity) yang menegaskan bahwa sesuatu itu adalah sama dengan dirinya sendiri. Hukum ini adalah hukum kesamaan yang artinya bahwa jika a=b dan b=c, maka a=c atau a terjadi maka c juga terjadi.
2. Hukum Kontradiksi (Principium Contradictionis/Law of Contradiction) atau hukum perbedaan, yang menyatakan bahwa sesuatu itu pada saat yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Jika a tidak sama dengan b, dan b tidak sama dengan c, maka tidak mungkin a dan c terjadi bersamaan pada waktu yang sama.
3. Hukum Tiada Jalan Tengah (Principium Exclusi Tertii/Law of Excluded Middle) yang mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan lain. Jika a diketahui dan b diketahui, maka adanya kejadian tersebut (c) mesti karena sebab lain.
4. Hukum Cukup Alasan (Principium Rationis Sufficientis/Law of Sufficinet Reason) yang menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu haruslah berdasarkan alasan yang cukup. Artinya tidak ada perubahan yang tiba tiba tanpa alsan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Hukum ini merupakan hukum pelengkap hukum identitas.
DAFTAR PUSTAKA
Kwee, Beerling & Van Peursen, Mooij. Pengantar Filsafat Ilmu. 1986 Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. 2002. Yogyakarta: Kanisius.
Wibisono, Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. 1996. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poedjawijatna. Logika Filsafat Berfikir. 1992. Jakarta: Rineka Cipta.
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.
Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce Publishing Company, Milwaukee, 1954
Positivisme August Comte serta Fakta Sosial dan Solidaritas Sosial Emile Durkheim
Positivisme August Comte serta Fakta Sosial dan Solidaritas Sosial Emile Durkheim
A. Pengertian Positivisme
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian) atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia.[1]
Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan.[2] Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.
B. Kelahiran Filsafat Positivistik
Positivisme di jadikan sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilan belas. Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Ajaran positivisme timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif.[3]August Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan. Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903).
C. Fase Filsafat Positivistik
Dalam masayarakat terdapat dua fase filsafat positivistik yaitu statika social dan dinamika social. Statika Sosial adalah masyarakat sebagai kenyataan dengan kaidah-kaidah yang menyusun tatanan social. Ini adalah saat dimana masyarakat mulai tersusun atau terbangun. Dengan statika sosial dimaksudkan semua unsur struktural yang melandasi dan menunjang orde, tertib dan kestabilan masyarakat. Antara lain disebut: sistem perundangan, struktur organisasi, dan nilai–nilai seperti keyakinan, kaidah dan kewajiban yang semuanya memberi bentuk yang konkret dan mantap kepada kehidupan bersama. Statika sosioal itu disepakati oleh anggota dan karena itu disebut dengan volonte general (kemauan umum). Mereka mengungkapkan hasrat kodrati manusia akan persatuan, perdamaian, dan kestabila atau keseimbangan. Tanpa unsur–unsur struktural ini kehidupan bersama tidak dapat berjalan. Pertengkaran dan perpecahan mengenai hal–hal yang dasar, sehingga suatu kesesuaian paham tidak tercapai, menghancurkan masyarakat.[4]Fase selanjutnya adalah dinamika social yang artinya masyarakat pada saat itu berada dalam penciptaan sejarahnya dan mulai menanjak dalam kemajuannya dan fase ini adalah fase terakhir menurut filsafat positvistik.[5] Dinamika sosial dimaksudkan semua proses pergolakan yang menuju perubahan sosial. Dinamika sosial adalah daya gerak sejarah tersebut tadi, yang pada setiap tahap evolusi mendorong kearah tercapainya keseimbangan baru yang setinggi dengan kondisi dan keadaan zaman. Dalam abad ke-18 dinamika sosial paling menonjol dalam perjuangan dan usaha untuk mengganti gagasan–gagasan agama yang lama dan konsep–konsep positif dan ilmiah yang baru. Comte telah belajar dari sejarah dunia, bahwa tiap–tiap perubahan dibidang politik, hukum, tata pemerintahan, kesenian, agama, ilmu pengetahuan dan filsafat langsung berkaitan dengan hukum evolusi akal budi. Tiap–tiap tahap baru dalam cara manusia berpikir menghasilkan bentuk masyarakat yang baru juga.
Pada tahap religius masyarakat dihayati sebagai kehendak dewa atau Allah. Pemerintahannya berstruktur feodal dan paternalistis. Hormat besar bagi pemimpin dan pembesar menjadi wajib. Ekonominya bercorak “militaristis” dalam arti bahwa orangnya tidak memproduksi sendiri barang kebutuhan mereka, tetapi memetik hasil bumi atau meramu saja. Tahap metafisika mengakibatkan kemunduran agama, yang terlihat dari adanya perombakan atas kehidupan bersama yang tradisional. Tahap positivisme sekarang membangun kembali suatu orde baru yang kokoh–kuat, dimana peranan agama dan filsafat diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif yang tangguh dan universal. Sarjana mengganti ulama, dan industriawan mengganti serdadu ( Storig H.J., dalam Veeger, 1982).[6]
D. Teori Positivisme August Comte
Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme. Aliran positivisme merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte yang cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di abad XX dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme (Positivisme-Logis).[7]
Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Menurut Comte dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif. Singkatnya, filsafat Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
E. Tahap-Tahap Pemikiran Manusia
Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia terdiri atas tiga Tahap yaitu Tahap teologik, lalu meningkat ketahap metafisik, kemudian mencapai tahap akhir yaitu tahap positif.
1. Tahap Teologik
Tahap ini menjadi ciri dunia sebelum tahun 1300. Tahap teologik bersifat melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terahir segala sesuatu. Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari supernaturalisme, bermula dari suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang paling primitif. Kemudian mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya. [8]Tahap teologik bersifat antropomorfik atau melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama dan tujuan terahir segala sesuatu. Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari supernaturalisme, bermula dari fetish yaitu suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang palin primitif. Kemudian polyteisme atau mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri. Kemudian menjadi monoteisme ini adalah suatu tahap tertinggi yang mana saat itu manusia menyatukan Tuhan-Tuhannya menjadi satu tokoh tertinggi. Ini adalah abad monarkhi dan kekuasaan mutlak. Ini menurutnya adalah abad kekanak-kanakan.[9]
2. Tahap Metafisik
Tahap ini menurut Comte berlangsung antara tahun 1300 sampai dengan 1800. Era ini dicirikan oleh kepercayaan bahwa kekuatan abstrak seperti “alam” dapat menjelaskan segalanya.[10] Tahap metafisik sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologik, karena ketika zaman teologik manusia hanya mempercayai suatu doktrin tanpa mempertanyakannya, hanya doktrin yang dipercayai. Pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat dan ketika manusia mencapai tahap metafisika ia mulai mempertanyaan dan mencoba mencari bukti-bukti yang meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik. Tahap metafisik menggantikan kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas dengan manusia. Ini adalah abad nasionalisme dan kedaulatan umum, atau abad remaja.[11]
3. Tahap Positif
Tahap ini yang diperkirakan terjadi pada tahun 1800 dan seterusnya, merupakan tahap pamungkas dari hukum tiga tahap, atau bias disebut tahap final. [12]Tahap positif berusaha untuk menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada zaman ini seseorang tahu bahwa tiada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis ataupun secara metafisika. Orang tidak mau lagi menemukan asal muasal dan tujuan akhir alam semesta atau melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu dan dibalik sesuatu. Pada zaman ini orang berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada zaman ini menerangkan berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Segala gejala telah dapat disusun dari suatu fakta yang umum saja.[13] Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
F. Pengaruh Pemikiran Positivisme
Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, Jhon Stuart Mill dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte yang diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum.[14]
G. Kritik Pemikiran Positivisme
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.
H. Fakta Sosial Emile Durkheim
Fakta sosial didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam arti lain, yang dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Dalam fakta social memiliki 3 karakteristik yaitu: gejala social bersifat eksternal terhadap individu, fakta social memaksa individu, fakta itu tersebar luas terhadap masyarakat atau bersifat umum.[15]
Pengertian fakta sosial meliputi suatu spectrum gejala-gejala sosial. Yang terdapat bukan saja cara-cara bertindak dan berfikir melainkan juga cara-cara berada yaitu fakta-fakta sosial morfologis, seperti bentuk permukiman, pola jalan-jalan, pembagian tanah, dan sebagainya. Menurut Emile Durkheim, fakta sosial terdiri dari dua bagian yaitu :
1. Dalam bentuk material, yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata (external world), contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non material, yaitu merupakan fenomena yang bersifat inter subjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia, contohnya egoisme, altruisme dan opini.
Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe yakni struktur sosial dan pranata sosial. Sifat dan hubungan dari fakta sosial inilah yang menjadi sasaran penelitian sosiologi menurut paradigma fakta sosial. Secara lebih terperinci fakta terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai keluarga, pemerintah.sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai keluarga, pemerintah.[16]
Durkheim menyajikan contoh-contoh dari fakta social itu. Salah satu diantaranya ialah pendidikan anak sejak bayi. Seorang anak diwajibkan makan, minum, tidur pada waktu tertentu, diwajibkan taat dan menjaga ketenangan serta kebersihan, diharuskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat dan kebiasaan. Di sini kita dapat menemukan unsur-unsur yang dikemukakan oleh Durkhei yaitu ada cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang bersumber pada suatu kekuatan diluar individu, bersifat memaksa dan mengndalikan individu, dan berada diluar kehendak pribadi individu. Seorang anak yang tidak menaati cara yang diajarkan padanya akan mengalami sanksi dari suatu kekuatan luar.
Contoh lain dari fakta social ialah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian dan kaidah ekonomi. Fakta social tersebut mengendalikan dan memaksa individu, karena bila melanggarnya ia akan terkena sanksi. Fakta social inilah yang menurut Durkheim menjadi pokok perhatian sosiologi. Sehingga menurutnya, metode yang harus ditempuh untuk mempelajari fakta social misalnya metode untuk meneliti suatu fakta- fakta social, untuk menjelaskan funsinya dan juga untuk menjelaskan factor penyebabnya. Contoh,dalam buku Sucide (1968) yaitu menjelaskan tentang penyebab terjadinya suatu fakta social yang konkret, angka bunuh diri.[17]
I. Karakteristik Fakta Sosial
Bagaimana gejala sosial itu benar-benar dapat dibedakan dari gejala yang benar-benar individual (psikologis) Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik fakta sosial, yaitu :[18]
1. Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Individu sejak awalnya mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai suatu kenyataan eksternal. Hampir setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru, mungkin sebagai anggota baru dari suatu organisasi dan pernah merasakan adanya norma serta kebiasaan yang sedang diamati yang tidak ditangkap atau dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
2. Fakta itu memaksa individu. Individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti Durkheim katakan : tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi atau memaksa seseorang untuk berprilaku yang bertentangan dengan kemauannya kalau sosialisasi itu berhasil, sehingga perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.
3. Fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat.
Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
J. Model Pengataman Fakta Sosial
Durkheim dalam bukunya yang berjudul “The Rules Of Sosiological Method” memberikan dasar-dasar metodologi dalam sosiologi. Salah satu prinsip dasar yang ditekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya.[19] Ini adalah asas pokok yang mutlak, kemungkinan lain yang besar untuk menjelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu (seperti kemauan, kesadaran, kepentingan pribadi individu, dan seterusnya) seperti yang dikemukakan oleh ahli ekonomi klasik dan oleh Spencer.
Prinsip dasar yang kedua (dan salah satu yang fundamental dalam fungsionalisme modern) adalah bahwa asal-usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang terpisah. Seperti ditulis Durkheim “Lalu apabila penjelasan mengenai suatu gejala sosial diberikan kita harus memisahkan sebab yang mengakibatkannya (efficient cause) yang menghasilkan gejala itu dan fungsi yang dijalankannya. Sesudah menentukan bahwa penjelasan tentang fakta sosial harus dicari di dalam fakta sosial lainnya, Durkheim memberikan strategi tentang perbandingan terkendali sebagai metoda yang paling cocok untuk mengembangkan penjelasan kausal dalam sosiologi.
Metoda perbandingan Durkheim lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metoda perbandingan terkendali itu meliputi klasifikasi silang dari fakta sosial tertentu untuk menentukan sejauh mana mereka berhubungan. Kalau korelasi antara dua himpunan fakta sosial dapat ditunjukkan sebagai valid dalam pelbagai macam keadaan, hal ini memberi satu petunjuk penting bahwa tipe fakta itu mungkin berhubungan secara kausal. Artinya, variasi dalam nilai dari satu tipe variable mungkin merupakan sebab dari variasi dalam nilai variable yang kedua.
K. Solidaritas Sosial Durkheim
Menurut Emile Durkheim, solidaritas sosial adalah “kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama”.[20]
Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Sumber utama bagi analisa Durkheim mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumber struktur sosialnya diperoleh dari bukunya “The Devision Of Labour In Society”. Tipe atau jenis solidaritas yang dijelaskan Durkheim tersebut yaitu:[21]
a. Solidaritas Mekanik
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu. Indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan itu (repressive). Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim.
b. Solidaritas Organik
Solidaritas organik didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan dari pada yang bersifat represif. Dalam sistem organik, kemarahan kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya karena kesadaran koleftif itu tidak begitu kuat. Selain itu, Durkheim juga membandingkan sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik dengan sifat masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik. Perbandingan tersebut yaitu :
Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik
- Pembagian kerja rendah
- Kesadaran kolektif rendah
- Hukum represif dominan
- Individualitas rendah
- Konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting
- Peranan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
- Saling ketergantungan itu rendah
- Bersifat primitif atau pedesaan - Pembagian kerja tinggi
- Kesadaran kolektif lemah
- Hukum restitutif dominan
- Individualitas tinggi
- Konsensus terhadap nilai abstrak dan umum itu penting
- Badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang
- Saling ketergantungan yang tinggi
- Bersifat industrial-perkotaan
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas organik. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang mekanis, misalnya, para petani garam hidup dalam masyarakat yang swasembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang organik, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif. Bahkan seringkali berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif. Pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu. Hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif. Ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Dalam masyarakat modern, masalah begitu kompleks. Ada banyak peran dan cara untuk hidup sehingga membuat munculnya individualistik. Menurut Durkheim, ini merupakan dampak dari modernisasi. Bukan hanya kecenderungan individualis saja. Namun dengan perubahan yang cepat dalam pembagian kerja membuat masyarakat bingung untuk menyesuaikan dirinya. Bahkan hal ini mengakibatkan norma-norma yang mengatur mereka banyak yang dilanggar. Masyarakat cenderung anti sosial atau sering disebut oleh Durkheim anomi. Anomi ini menyebabkan banyaknya terjadi penyimpangan. Pada saat itu yang sering terjadi adalah kasus bunuh diri. Di mana potensi individu untuk bunuh diri semakin besar karena kesolidaritasan atau kebersamaan itu sudah mulai runtuh. Banyak yang lebih memilih untuk anti sosial, egois, serakah dan lain sebagainya hanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
A. Kesimpulan
Positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Menurut Comte dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
Fakta sosial didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam arti lain, yang dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Dalam fakta social memiliki 3 karakteristik yaitu: gejala social bersifat eksternal terhadap individu, fakta social memaksa individu, fakta itu tersebar luas terhadap masyarakat atau bersifat umum.
Menurut Emile Durkheim, solidaritas sosial adalah “kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Echols John M. Kamus Inggris Indonesia.Gramedia.Jakarta:1982
Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial, Bumi Aksara, Jakarta:2009
Harun Hadiwijono.Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Kanisius.
Muslih Mohamad.Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan Ilmu Pengetahuan.Belukar.Yogyakarta:2006.
Prof. DR. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah.Bentang Pustaka.Yogyakarta:2006
Soekanto,Soerjono.Emile Durkheim.Aturan-Aturan Metode Sosiologis.Seri Pengenalan Sosiologi 2.Rajawali. 1985:Jakarta.
http://awisbermimpi.blogspot.com/2011/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html
http://faisalfarhan89.blogspot.com/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html
http://www.bisosial.com/2012/05/sumbangan-pemikiran-sosiologi-dari.html
http://magentarosmaya.blog.fisip.uns.ac.id/2012/07/07/emile-durkheim/
http://penjelajahpantai.blogspot.com/2011/12/statistika-dan-dinamika-sosial.html
http://erna-peena.blogspot.com/2011/02/positivisme.html, 18 September 2013, 16:09
http://magentarosmaya.blog.fisip.uns.ac.id/2012/07/07/emile-durkheim/
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Positivisme logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya pernah dekat dengan kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Asal dan Gagasan Positivisme Logis[sunting | sunting sumber]
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Kritik[sunting | sunting sumber]
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, tetapi masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, tetapi untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada zaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, tetapi jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis
Positifisme Empiris August Comte
a. Biografi August Comte
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Perancis pada tahun 1798. Comte berasal dari kaum bangsawan. Sejak mahasiswa ia dikenal sebagai pemberontak dan akhirnya dipecat karena mendukung Napoleon. Dalam karir prefesionalnya, Comte memberikan pelatihan di bidang matematika walaupun perhatian sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Dalam perjalanan karirnya, ia banyak dipengaruhi oleh Saint Simon yang mempekerjakannya sebagai sektreataris, walaupun pada akhirnya mereka masing-masing memiliki pandangannya sendiri. Sumbangsih nyata dari Comte terhadap perkembangan filsafat dibarengi pula oleh sumbangan pemikirannya terhadap sosiologi. Awal munculnya aliran positivism didasarkan kepada kepercayaan terhadap hukum-hukum alam sebagai kendali terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu, dari dasar pemikiran ini kepercayaan terhadap takhayul, ketakutan, kebodohan, dan paksaan, dan konflik sosial dihilangkan dari masyarakat. Pandangan inilah yang menjadi awal kelahiran aliran positivism.[1]
b. Pengertian Positivisme
Pengertian positif menurut Auguste Comte:
1. Sebagai pensifatan sesuatu hal yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang mengatakan bahwa filsafat positifisme itu, dalam menyelidiki obyek sasaraannya berdasarkan pada kemampuan akal, sedangkan hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan saasaaran penyelidikan.
2. Sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa didalam filsafat positifisme, segala sesuatu harrus diarahkan kepada pencapaian kemajuan.
3. Sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti. Hal ini sesuaia dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus mencapai pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat.
4. Sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Hal ini sesuai dengan ajarnnya yang menyatakan bahwa dalam pemikiran filsafati, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenei gejala-gejala yang Nampak maupun apa yang sebenarnya.[2]
c. Ajaran-Ajaran Filsafat Positifisme Adalah:
1. Hukum Tiga Tahap
Dalam karyanya Auguste Comte, dia menjelaskan bahwa sejarah umat manusia baik secara individual maupan keseluruhan, berkembang melalui tiga tahap yaitu teologi atau fiktif, metafisik, dan positif atau riel.
a. Tahap Teologi
Dalam tahap ini, mannusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujauan akhir segala sesuatu yang ada. Menurut dia tahap teologi ini akan muncul begitu saja, melalui didahului pula oleh suatu yang berkembang secara bertahap, yaitu
• Fetisyisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempumyai tanggapan bahwa segala sesuatu yang berada disekililing manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri, dan mempunyai pengaruh yang menentukan kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud segala sesuatu itu adalah gunung, sungai, pohon, dan segala sesuatu yang dibuat manusia itu sendiri.
• Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari benda-benda yang berasal dari benda-benda yang berada disekeliling manusia, melainkan dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan.
• Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lag iberasal dari dewa-dewa, melainkan berasal dari suatu yang mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
b. Tahap Metafisik
Dengan berakhirnya monoteisme berakhir pula tahap teologi, ini disebabkan karena manusia mulai merubah cara-cara berfikirnya, dalam usahanya utuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala alam. Menurut Auguste Comte, tahapini merupakan tahap peralihan sebagaimana yang dialami oleh setiap manusia. Menurut Auguste Comte dalam sejarah kehidupan manusia, yang dimaksud dengan tahap metafisik adalah tahap ketika umat manusia datang pada zaman Reinissence.
c. Tahap Positif
Tahap positif merupakan tahap dimana jiwa manusia sampai pada pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi pasti, jelas, dan bermanfaat. Tahap ini menurutnya merupakan tahap perkembangan masyarakat pada saat industrialisasisudah dapatdikembangkan, disartai peranan kaum cendekiawan dan industrialis yang bersama-sama mengatur masyarakat secara ilmiah.[3]
d. Penggolongan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan menggunakan metode-metode tertentu. Ilmu pengetahuan prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematiskan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan Auguste Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala pengetahuan yang semakin lama semakin rumit atau kompleks dan semakin kongkret. Karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahuan, Auguste Comte memulai dengan mengamati gejala-gejala yang paling sederhana, yaitu gejala yang letaknya paling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari. Urutan dalam penggolongan ilmu pengetahuan Auguste Comte sebagai berikut:
1. Ilmu pasti (matematika)
2. Ilmu perbintangan (astronomi)
3. Ilmu alam (fisika)
4. Ilmu kimia
5. Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)
6. Fisika sosial (sosiologi)
Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Auguste Comte secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagi berikut:
1. Ilmu pengetahuan
a. Logika (matematika murni)
b. Ilmu pengetahuan empiris (astronomi, fisika, biologi, sosiologi)
2. Filsafat
a. Metafisika
b. Filsafat ilmu pengetahuan
B. Logika Induksi John S. S.mill
1. Biografi John S. Smill
John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 – meninggal di Avignon, Perancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun) adalah seorang filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial. Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang merupakan inti filsafat Mill, dari ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Perancis untuk mempelajari bahasa, kimia, dan matematika
2. Pengertian Logika
Sebelum kita membahas tentang logika induksi, terlebih dahulu kita mengetahui apa itu logika. Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Mil Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematik. [4]
Logika merupakan suatu dasar untuk memperoleh pengetahuan yang benar, sebab tanpa logika penalaran tidak mungkin dilakukan, dan tanpa penalaran pengetahuan tidak akan dibenarkan. Kegiatan penalaran tidak akan lepas dari logika. Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran. Dasar penalaran logika ada dua yaitu, penalaran logika deduktif dan penalaran logika induktif.
Logika Induksi adalah sebuah proses penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu, bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi.
Menurut John Stuart Mill, penalaran logika induktif adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Contohnya,
Kuda Sumba punya sebuah jantung
Kuda Australia punya sebuah jantung
Kuda Amerika punya sebuah jantung
Kuda Inggris punya sebuah jantung
∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
Dalam logika induksi disini terbagi atas empat asumsi yaitu:
1. Generalisasi
2. Hipotesis dan Teori
3. Analogi
4. Sebab-Akibat[5]
3. Empat Macam Kejadian Logika Induksi
Pada pembahasan kali ini kita akan menjelaskan “Logika Induksi” oleh John S. Mill. Ia mengemukakan logika induksinya dengan cara menelaah sebab-akibat kejadin. Sebab-akibat yang dipaparkan oleh John S. Smill ini dibagi atas empat macam yaitu:
a. Metode Persetujuan, yaitu jika dua hal atau lebih dari fenomena yang diteliti memiliki hanya satu faktor yang sama, maka faktor satu-satunya di mana hal-hal itu bersesuaian adalah sebab (atau akibat) dari fenomena yang diteliti itu.
b. Metode Perbedaan, yaitu jika satu hal terjadi dalam fenomena yang diteliti, dan satu hal yang tidak terjadi dalam fenomena yang diteliti itu, memiliki semua faktor yang sama, terkecuali satu yang terjadi pada hal yang pertama, maka satu-satunya faktor di mana kedua hal itu berbeda adalah akibat atau sebab yang sangat menentukan sebab dari fenomena tersebut
c. Metode Persamaan Variasi, yaitu fenomena apa pun juga yang dengan suatu cara mengalami perubahan kapan pun fenomena lainnya dengan suatu cara tertentu mengalami perubahan adalah sebab atau pun akibat dari fenomena tersebut, atau berhubungan dengan fenomena tersebut selaku fakta yang menyebabkan perubahan itu.
d. Metode Residu (sisa-sisihan), yaitu dari suatu fenomena hilangkanlah bagian yang lewat berbagai induksi yang telah dilakukan sebelumnya diketahui akibat dari antesenden-antesenden tertentu, dan residu (sisa) fenomena adalah hasil dari antesenden yang masih tertinggal.[6]
Ada empat hukum dasar dalam Logika Induksi (Aristotoles, ;G.W. Leibniz, 1646-1716; John Stuart Mill, 1806-1873.
1. Hukum Identitas (Principium Identitatis/Law of Identity) yang menegaskan bahwa sesuatu itu adalah sama dengan dirinya sendiri. Hukum ini adalah hukum kesamaan yang artinya bahwa jika a=b dan b=c, maka a=c atau a terjadi maka c juga terjadi.
2. Hukum Kontradiksi (Principium Contradictionis/Law of Contradiction) atau hukum perbedaan, yang menyatakan bahwa sesuatu itu pada saat yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Jika a tidak sama dengan b, dan b tidak sama dengan c, maka tidak mungkin a dan c terjadi bersamaan pada waktu yang sama.
3. Hukum Tiada Jalan Tengah (Principium Exclusi Tertii/Law of Excluded Middle) yang mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan lain. Jika a diketahui dan b diketahui, maka adanya kejadian tersebut (c) mesti karena sebab lain.
4. Hukum Cukup Alasan (Principium Rationis Sufficientis/Law of Sufficinet Reason) yang menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu haruslah berdasarkan alasan yang cukup. Artinya tidak ada perubahan yang tiba tiba tanpa alsan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Hukum ini merupakan hukum pelengkap hukum identitas.
DAFTAR PUSTAKA
Kwee, Beerling & Van Peursen, Mooij. Pengantar Filsafat Ilmu. 1986 Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. 2002. Yogyakarta: Kanisius.
Wibisono, Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. 1996. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poedjawijatna. Logika Filsafat Berfikir. 1992. Jakarta: Rineka Cipta.
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.
Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce Publishing Company, Milwaukee, 1954
Positivisme August Comte serta Fakta Sosial dan Solidaritas Sosial Emile Durkheim
Positivisme August Comte serta Fakta Sosial dan Solidaritas Sosial Emile Durkheim
A. Pengertian Positivisme
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian) atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia.[1]
Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan.[2] Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.
B. Kelahiran Filsafat Positivistik
Positivisme di jadikan sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilan belas. Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Ajaran positivisme timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif.[3]August Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan. Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903).
C. Fase Filsafat Positivistik
Dalam masayarakat terdapat dua fase filsafat positivistik yaitu statika social dan dinamika social. Statika Sosial adalah masyarakat sebagai kenyataan dengan kaidah-kaidah yang menyusun tatanan social. Ini adalah saat dimana masyarakat mulai tersusun atau terbangun. Dengan statika sosial dimaksudkan semua unsur struktural yang melandasi dan menunjang orde, tertib dan kestabilan masyarakat. Antara lain disebut: sistem perundangan, struktur organisasi, dan nilai–nilai seperti keyakinan, kaidah dan kewajiban yang semuanya memberi bentuk yang konkret dan mantap kepada kehidupan bersama. Statika sosioal itu disepakati oleh anggota dan karena itu disebut dengan volonte general (kemauan umum). Mereka mengungkapkan hasrat kodrati manusia akan persatuan, perdamaian, dan kestabila atau keseimbangan. Tanpa unsur–unsur struktural ini kehidupan bersama tidak dapat berjalan. Pertengkaran dan perpecahan mengenai hal–hal yang dasar, sehingga suatu kesesuaian paham tidak tercapai, menghancurkan masyarakat.[4]Fase selanjutnya adalah dinamika social yang artinya masyarakat pada saat itu berada dalam penciptaan sejarahnya dan mulai menanjak dalam kemajuannya dan fase ini adalah fase terakhir menurut filsafat positvistik.[5] Dinamika sosial dimaksudkan semua proses pergolakan yang menuju perubahan sosial. Dinamika sosial adalah daya gerak sejarah tersebut tadi, yang pada setiap tahap evolusi mendorong kearah tercapainya keseimbangan baru yang setinggi dengan kondisi dan keadaan zaman. Dalam abad ke-18 dinamika sosial paling menonjol dalam perjuangan dan usaha untuk mengganti gagasan–gagasan agama yang lama dan konsep–konsep positif dan ilmiah yang baru. Comte telah belajar dari sejarah dunia, bahwa tiap–tiap perubahan dibidang politik, hukum, tata pemerintahan, kesenian, agama, ilmu pengetahuan dan filsafat langsung berkaitan dengan hukum evolusi akal budi. Tiap–tiap tahap baru dalam cara manusia berpikir menghasilkan bentuk masyarakat yang baru juga.
Pada tahap religius masyarakat dihayati sebagai kehendak dewa atau Allah. Pemerintahannya berstruktur feodal dan paternalistis. Hormat besar bagi pemimpin dan pembesar menjadi wajib. Ekonominya bercorak “militaristis” dalam arti bahwa orangnya tidak memproduksi sendiri barang kebutuhan mereka, tetapi memetik hasil bumi atau meramu saja. Tahap metafisika mengakibatkan kemunduran agama, yang terlihat dari adanya perombakan atas kehidupan bersama yang tradisional. Tahap positivisme sekarang membangun kembali suatu orde baru yang kokoh–kuat, dimana peranan agama dan filsafat diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif yang tangguh dan universal. Sarjana mengganti ulama, dan industriawan mengganti serdadu ( Storig H.J., dalam Veeger, 1982).[6]
D. Teori Positivisme August Comte
Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme. Aliran positivisme merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte yang cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di abad XX dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme (Positivisme-Logis).[7]
Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Menurut Comte dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif. Singkatnya, filsafat Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
E. Tahap-Tahap Pemikiran Manusia
Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia terdiri atas tiga Tahap yaitu Tahap teologik, lalu meningkat ketahap metafisik, kemudian mencapai tahap akhir yaitu tahap positif.
1. Tahap Teologik
Tahap ini menjadi ciri dunia sebelum tahun 1300. Tahap teologik bersifat melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terahir segala sesuatu. Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari supernaturalisme, bermula dari suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang paling primitif. Kemudian mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya. [8]Tahap teologik bersifat antropomorfik atau melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama dan tujuan terahir segala sesuatu. Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari supernaturalisme, bermula dari fetish yaitu suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang palin primitif. Kemudian polyteisme atau mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri. Kemudian menjadi monoteisme ini adalah suatu tahap tertinggi yang mana saat itu manusia menyatukan Tuhan-Tuhannya menjadi satu tokoh tertinggi. Ini adalah abad monarkhi dan kekuasaan mutlak. Ini menurutnya adalah abad kekanak-kanakan.[9]
2. Tahap Metafisik
Tahap ini menurut Comte berlangsung antara tahun 1300 sampai dengan 1800. Era ini dicirikan oleh kepercayaan bahwa kekuatan abstrak seperti “alam” dapat menjelaskan segalanya.[10] Tahap metafisik sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologik, karena ketika zaman teologik manusia hanya mempercayai suatu doktrin tanpa mempertanyakannya, hanya doktrin yang dipercayai. Pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat dan ketika manusia mencapai tahap metafisika ia mulai mempertanyaan dan mencoba mencari bukti-bukti yang meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik. Tahap metafisik menggantikan kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas dengan manusia. Ini adalah abad nasionalisme dan kedaulatan umum, atau abad remaja.[11]
3. Tahap Positif
Tahap ini yang diperkirakan terjadi pada tahun 1800 dan seterusnya, merupakan tahap pamungkas dari hukum tiga tahap, atau bias disebut tahap final. [12]Tahap positif berusaha untuk menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada zaman ini seseorang tahu bahwa tiada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis ataupun secara metafisika. Orang tidak mau lagi menemukan asal muasal dan tujuan akhir alam semesta atau melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu dan dibalik sesuatu. Pada zaman ini orang berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada zaman ini menerangkan berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Segala gejala telah dapat disusun dari suatu fakta yang umum saja.[13] Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
F. Pengaruh Pemikiran Positivisme
Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, Jhon Stuart Mill dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte yang diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum.[14]
G. Kritik Pemikiran Positivisme
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.
H. Fakta Sosial Emile Durkheim
Fakta sosial didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam arti lain, yang dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Dalam fakta social memiliki 3 karakteristik yaitu: gejala social bersifat eksternal terhadap individu, fakta social memaksa individu, fakta itu tersebar luas terhadap masyarakat atau bersifat umum.[15]
Pengertian fakta sosial meliputi suatu spectrum gejala-gejala sosial. Yang terdapat bukan saja cara-cara bertindak dan berfikir melainkan juga cara-cara berada yaitu fakta-fakta sosial morfologis, seperti bentuk permukiman, pola jalan-jalan, pembagian tanah, dan sebagainya. Menurut Emile Durkheim, fakta sosial terdiri dari dua bagian yaitu :
1. Dalam bentuk material, yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata (external world), contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non material, yaitu merupakan fenomena yang bersifat inter subjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia, contohnya egoisme, altruisme dan opini.
Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe yakni struktur sosial dan pranata sosial. Sifat dan hubungan dari fakta sosial inilah yang menjadi sasaran penelitian sosiologi menurut paradigma fakta sosial. Secara lebih terperinci fakta terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai keluarga, pemerintah.sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai keluarga, pemerintah.[16]
Durkheim menyajikan contoh-contoh dari fakta social itu. Salah satu diantaranya ialah pendidikan anak sejak bayi. Seorang anak diwajibkan makan, minum, tidur pada waktu tertentu, diwajibkan taat dan menjaga ketenangan serta kebersihan, diharuskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat dan kebiasaan. Di sini kita dapat menemukan unsur-unsur yang dikemukakan oleh Durkhei yaitu ada cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang bersumber pada suatu kekuatan diluar individu, bersifat memaksa dan mengndalikan individu, dan berada diluar kehendak pribadi individu. Seorang anak yang tidak menaati cara yang diajarkan padanya akan mengalami sanksi dari suatu kekuatan luar.
Contoh lain dari fakta social ialah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian dan kaidah ekonomi. Fakta social tersebut mengendalikan dan memaksa individu, karena bila melanggarnya ia akan terkena sanksi. Fakta social inilah yang menurut Durkheim menjadi pokok perhatian sosiologi. Sehingga menurutnya, metode yang harus ditempuh untuk mempelajari fakta social misalnya metode untuk meneliti suatu fakta- fakta social, untuk menjelaskan funsinya dan juga untuk menjelaskan factor penyebabnya. Contoh,dalam buku Sucide (1968) yaitu menjelaskan tentang penyebab terjadinya suatu fakta social yang konkret, angka bunuh diri.[17]
I. Karakteristik Fakta Sosial
Bagaimana gejala sosial itu benar-benar dapat dibedakan dari gejala yang benar-benar individual (psikologis) Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik fakta sosial, yaitu :[18]
1. Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Individu sejak awalnya mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai suatu kenyataan eksternal. Hampir setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru, mungkin sebagai anggota baru dari suatu organisasi dan pernah merasakan adanya norma serta kebiasaan yang sedang diamati yang tidak ditangkap atau dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
2. Fakta itu memaksa individu. Individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti Durkheim katakan : tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi atau memaksa seseorang untuk berprilaku yang bertentangan dengan kemauannya kalau sosialisasi itu berhasil, sehingga perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.
3. Fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat.
Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
J. Model Pengataman Fakta Sosial
Durkheim dalam bukunya yang berjudul “The Rules Of Sosiological Method” memberikan dasar-dasar metodologi dalam sosiologi. Salah satu prinsip dasar yang ditekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya.[19] Ini adalah asas pokok yang mutlak, kemungkinan lain yang besar untuk menjelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu (seperti kemauan, kesadaran, kepentingan pribadi individu, dan seterusnya) seperti yang dikemukakan oleh ahli ekonomi klasik dan oleh Spencer.
Prinsip dasar yang kedua (dan salah satu yang fundamental dalam fungsionalisme modern) adalah bahwa asal-usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang terpisah. Seperti ditulis Durkheim “Lalu apabila penjelasan mengenai suatu gejala sosial diberikan kita harus memisahkan sebab yang mengakibatkannya (efficient cause) yang menghasilkan gejala itu dan fungsi yang dijalankannya. Sesudah menentukan bahwa penjelasan tentang fakta sosial harus dicari di dalam fakta sosial lainnya, Durkheim memberikan strategi tentang perbandingan terkendali sebagai metoda yang paling cocok untuk mengembangkan penjelasan kausal dalam sosiologi.
Metoda perbandingan Durkheim lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metoda perbandingan terkendali itu meliputi klasifikasi silang dari fakta sosial tertentu untuk menentukan sejauh mana mereka berhubungan. Kalau korelasi antara dua himpunan fakta sosial dapat ditunjukkan sebagai valid dalam pelbagai macam keadaan, hal ini memberi satu petunjuk penting bahwa tipe fakta itu mungkin berhubungan secara kausal. Artinya, variasi dalam nilai dari satu tipe variable mungkin merupakan sebab dari variasi dalam nilai variable yang kedua.
K. Solidaritas Sosial Durkheim
Menurut Emile Durkheim, solidaritas sosial adalah “kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama”.[20]
Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Sumber utama bagi analisa Durkheim mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumber struktur sosialnya diperoleh dari bukunya “The Devision Of Labour In Society”. Tipe atau jenis solidaritas yang dijelaskan Durkheim tersebut yaitu:[21]
a. Solidaritas Mekanik
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu. Indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan itu (repressive). Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim.
b. Solidaritas Organik
Solidaritas organik didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan dari pada yang bersifat represif. Dalam sistem organik, kemarahan kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya karena kesadaran koleftif itu tidak begitu kuat. Selain itu, Durkheim juga membandingkan sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik dengan sifat masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik. Perbandingan tersebut yaitu :
Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik
- Pembagian kerja rendah
- Kesadaran kolektif rendah
- Hukum represif dominan
- Individualitas rendah
- Konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting
- Peranan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
- Saling ketergantungan itu rendah
- Bersifat primitif atau pedesaan - Pembagian kerja tinggi
- Kesadaran kolektif lemah
- Hukum restitutif dominan
- Individualitas tinggi
- Konsensus terhadap nilai abstrak dan umum itu penting
- Badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang
- Saling ketergantungan yang tinggi
- Bersifat industrial-perkotaan
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas organik. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang mekanis, misalnya, para petani garam hidup dalam masyarakat yang swasembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang organik, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif. Bahkan seringkali berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif. Pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu. Hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif. Ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Dalam masyarakat modern, masalah begitu kompleks. Ada banyak peran dan cara untuk hidup sehingga membuat munculnya individualistik. Menurut Durkheim, ini merupakan dampak dari modernisasi. Bukan hanya kecenderungan individualis saja. Namun dengan perubahan yang cepat dalam pembagian kerja membuat masyarakat bingung untuk menyesuaikan dirinya. Bahkan hal ini mengakibatkan norma-norma yang mengatur mereka banyak yang dilanggar. Masyarakat cenderung anti sosial atau sering disebut oleh Durkheim anomi. Anomi ini menyebabkan banyaknya terjadi penyimpangan. Pada saat itu yang sering terjadi adalah kasus bunuh diri. Di mana potensi individu untuk bunuh diri semakin besar karena kesolidaritasan atau kebersamaan itu sudah mulai runtuh. Banyak yang lebih memilih untuk anti sosial, egois, serakah dan lain sebagainya hanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
A. Kesimpulan
Positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Menurut Comte dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
Fakta sosial didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam arti lain, yang dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Dalam fakta social memiliki 3 karakteristik yaitu: gejala social bersifat eksternal terhadap individu, fakta social memaksa individu, fakta itu tersebar luas terhadap masyarakat atau bersifat umum.
Menurut Emile Durkheim, solidaritas sosial adalah “kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Echols John M. Kamus Inggris Indonesia.Gramedia.Jakarta:1982
Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial, Bumi Aksara, Jakarta:2009
Harun Hadiwijono.Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Kanisius.
Muslih Mohamad.Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan Ilmu Pengetahuan.Belukar.Yogyakarta:2006.
Prof. DR. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah.Bentang Pustaka.Yogyakarta:2006
Soekanto,Soerjono.Emile Durkheim.Aturan-Aturan Metode Sosiologis.Seri Pengenalan Sosiologi 2.Rajawali. 1985:Jakarta.
http://awisbermimpi.blogspot.com/2011/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html
http://faisalfarhan89.blogspot.com/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html
http://www.bisosial.com/2012/05/sumbangan-pemikiran-sosiologi-dari.html
http://magentarosmaya.blog.fisip.uns.ac.id/2012/07/07/emile-durkheim/
http://penjelajahpantai.blogspot.com/2011/12/statistika-dan-dinamika-sosial.html
http://erna-peena.blogspot.com/2011/02/positivisme.html, 18 September 2013, 16:09
http://magentarosmaya.blog.fisip.uns.ac.id/2012/07/07/emile-durkheim/
Komentar
Posting Komentar