Makalah Filsafat : Kritik Karl Raimund Popper terhadap Filsafat Lingkaran Wina
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Popper adalah
salah satu filsuf Austria-Inggris yang besar pengaruhnya dalam pemikiran
mengenai filsafat ilmu pengetahuan dalam abad XX. Ia adalah salah satu kritikus
yang paling tajam terhadap gagasan lingkaran wina. Melalui bukunya The Logic
of Scientific Discovery, Popper berhasil menggebrak dunia filsafat sains.
Dalam bukunya tersebut, Karl Raimund Popper melakukan kritik terhadap kecenderungan
metodologi sains di masa itu yang di dominasi oleh psikologisme, naturalisme
dan Positivisme logis. Positivisme logis berpihak pada rasionalisme
justifikatoris, sedangkan Popper mengajukan tandingannya yakni kritisme
non-justifikatoris yang untuk pertama kalinya ada dalam sejarah filsafat.
Popper tidak
sependapat dengan kayakinan tradisonal tentang induksi. Demikian
juga soal verifikasi sebagaimana diyakini lingkaran wina. Oleh karena itu
Popper kemudian mengajukan sebuah antitesa atas kesalahan para penganut
induktifis, yaitu sebuah gagasan dengan cara uji kesalahan (falsifiable)
dan uji logika realita (testability). Dengan harapan sebuah teori
benar-benar dari hasil uji kesahihan yang empirik serta bebas dari prasangka,
ramalan, prediksi yang bersifat personal.
Berdasarkan
latar belakang di atas, kami kelompok 3 akan mencoba mendeskripsikan
pemikiran-pemikiran Karl Raimund Popper tentang gagasannya mengenai Falsifikasi
yaitu pengguguran teori lewat fakta-fakta, yang merupakan kebalikan dari verifikasi.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.2.2
Bagaimana
riwayat hidup Karl Raimund Popper?
1.2.2 Bagaimana pokok pemikiran dan kritik Karl
Raimund Popper terhadap Positivisme Logis?
1.2.3
Bagaimana refleksi atas pemikiran Karl Raimund Popper?
1.3
Tujuan
Ada pun tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah:
1.3.1 Untuk mengetahui riwayat hidup Karl Raimund
Popper.
1.3.2 Untuk mengetahui pokok pemikiran dan kritik
Karl Raimund Popper terhadap positifisme logis.
1.3.3 Untuk mengetahui refleksi atas pemikiran Karl
Raimund Popper.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Riwayat Hidup Karl Raimund Popper
Sir
Karl Raymund Popper lahir di Vienna Austria pada tanggal 28 Juli 1902. Ia
merupakan seorang filsuf dan profesor asal Vienna dan Inggris.[1] Ayahnya Dr.
Simon Sigmund Carl Popper seorang pengacara yang sangat minat pada Filsafat.
Perpustakaannya luas mencakup kumpulan-kumpulan karya filsuf besar dan
karya-karya mengenai problem sosial.[2]
Orang tua Karl Popper merupakan keturunan Yahudi, namun setelah menikah Karl
Popper di babtis dalam gereja protestan.
Gambar 1:
Sir Karl Raymund Popper
Sumber : Wikipedia
Karl Popper
merupakan seorang filsuf terbesar pada abad 20. Kemasyhurannya diperoleh dari
pendiriannya yang kuat dalam usahanya menolak positivisme logis. Karl Popper
menganut aliran analitis, rasionalisme kritis, falsiabilisme,
epistemologi,evolusionistik dan liberalisme. Ada pun minat utama dari Karl
Popper adalah Epistemologi, filsafat ilmu, filsafat sosial, filsafat politik,
dan filsafat budi. Sedangkan gagasan penting yang disumbangkan oleh Karl Popper
adalah Falsiabilitas dan metode hipotetik-deduktif.
Pada tahun
1928 ia meraih gelar Doktor Filsafat dengan suatu disertasi tentang Zur Methodenfrage
der Denkp Psychologei (Masalah Metode dalam Psikologi Pemikiran),
namun karyanya ini tidak diterbitkan. Pada tahun berikutnya Popper memperoleh
gelar Diploma pada bidang Matematika dan ilmu pengetahuan Alam. Dalam catatan
sejarah, Popper tidak pernah menjadi anggota Lingkaran Wina, tetapi ia mengenal
anggota Lingkaran Wina yang bekerja di universitas dan pada beberapa di antara
mereka, ia mempunyai hubungan khusus dengan anggota Lingkaran Wina di antaranya
Viktor Kraft, Herert Feigl. Dalam usaha studinya, Popper belajar banyak dari
Karl Buhler, Profesor Psychologi di Universitas Wina. Pada tahun kedua di
Institut Pedagogis, Popper berjumpa dengan Prof Heinrich Gomperz dan banyak
dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan problem psikologi pengetahuan atau
psikologi penemuan. Hasil pertemuannya dengan Prof. Heinrich melahirkan
keyakinan Popper bahwa data indrawi, data atau kesan sederhana itu semua
khayalan yang berdasarkan usaha keliru yang mengalihkan Atomisme dari fisika ke
psikologi.
Sesudah
perang dunia II selesai, Popper diangkat sebagai dosen di London School
of Economics, sebuah institut di bawah naungan Universitas
London. Di sini ia mempersiapkan suatu buku yang menguraikan perkembangan
pemikirannya sejak buku The Logic of Scientific Discovery, di
antara buku yang diterbitkan antara lain Realism and Aim of Science:
Quantum Theory and the Schism in Physics The Open Sociaty and Its
Enemies, dan The Poverty of Historicism yang
memberi analisis dan kritik Popper atas pemikiran tiga tokoh yang menurut dia
termasuk historisisme, yaitu Plato, Hegel, dan Marx.
Pada tahun
1977 Popper banyak memberikan ceramah dan kuliah tamu di Eropa, Amerika, Jepang
dan Australia. Ia banyak mengenali secara pribadi ahli-ahli kimia modern yang
besar seperti, Albert Einstein, Neil Bohr, Edwin Schrodinger. Popper meninggal
dunia pada tanggal 17 September 1994 di Croydon, London Selatan, dalam usia 92
tahun akibat komplikasi penyakit kanker. Menjelang akhir hayatnya beberapa
karyanya diterbitkan dengan bantuan orang lain. Buku yang paling penting dari
periode terakhir ini adalah A World of Propensities (1999) di
mana ia menguraikan pemikiran definitifnya tentang probabilitas dalam logika
dan Ilmu Pengetahuan.[3]
2.2 Pokok Pemikiran dan Kritik
Karl Popper Terhadap Positivisme Logis
Dalam buku
Karl Popper yang berjudul The Logic of Scientific Discovery, Popper
melancarkan kritik keras terhadap psokologisme, naturalisme, dan positivisme
logis.[4]
Ketiga cara pandang yang dihasilkan melalui metode verifikatori ini, menarik
garis demarkasi yang tegas dalam memisahkan ilmu pengetahuan, dari yang bukan
ilmu pengetahuan. Ketiganya menggunakan logika yang empirisme yang bersifat
observatoris dan induktivistik, sementara Popper menggunakan logika
kritis-rasional, karena dia beranggapan bahwa teori ilmu pengetahuan pada
dasarnya abstrak dan dapat di uji secara tidak langsung berkaitan dengan
akibat-akibat yang ditimbulkan.[5]
2.2.1 Ilmu pengetahuan
Kritik
Popper yang pertama adalah pandangan mengenai ilmu pengetahuan empiris.
a. Dalam
positivisme logis, metode ilmu pengetahuan empiris adalah metode induksi yang
mendefenisikan penemuan ilmiah sebagai penerapan metode induktif dalam
menganalisis pengalaman secara logis. Pembenaran sebuah pernyataan didasarkan
pada generalisasi induktif berdasarkan data indrawi (pengalaman). Menurut
Popper sebuah pembenaran seharusnya bersifat universal, dengan kata lain,
pengalaman tidak bisa menjadi dasar universal sebuah pembenaran yang valid
b. Perlunya
pengeliminasian psikologisme dari logika ilmu pengatahuan, atau masalah fakta
dari masalah validitas. Menurut Popper kebenaran pernyataan ilmu
pengatahuan bukan diakibatkan oleh
proses pengenalan sebuah ide baru, tetapi pengujian hasil dari proses itu
secara logis.
c. Pengujian
teori secara deduktif harus dilakukan sebagai metode pengujian teori secara
kritis, bukan secara empiris semata. Popper mengatakan bahwa kebenaran tidak
pernah dapat disimpulkan secara induktif, sehingga verifikasi harus sampai pada
batas memperlihatkan probabilitas suatu pernyataan yang benar, dan bukan
kebenaran sebuah teori.
d. Masalah
demarkasi antara ilmu pengetahuan dan metafisika. Para positivisme selalu
melihat masalah demarkasi dari sudut pandang naturalistik, dan menganggap
pernyataan metafisis sebagai masalah ilmu pengetahuan. Menurut Popper yang
menjadi masalah bukan demarkasi, melainkan kesepakatan mengenai manakah
pernyataan ilmu pengetahuan empiris, dan manakah pernyataan metafisis.
e. Pengalamanan
sebagai metode memiliki kelemahan yang menekankan bahwa ilmu empiris hanya dapat
menyatakan satu dunia, yakni dunia riil sebagai dunia pengalaman
f. Induksi saja
tidak cukup, falsiabilitas dan verifikasi merupakan dua cara untuk memastikan
kebenaran. Suatu pernyataan bersifat ilmiah apabila pernyataan tersebut dapat
disanggah.
g. Menurut
psikologisme sebuah pernyataan dapat dibenarkan tidak hanya melalui pernyataan
tetapi juga melalui persepsi. Namun menurut Popper pembuktian kebenaran sebuah
pernyataan tidak pernah didasarkan pada persepsi yang konkret, tetapi pada
sesuatu yang universal.
h. Objektivitas
ilmiah dan subjektivitas konvensi merupakan dua konsep berlawanan. Popper
mngkritik konsep kebenaran adalah sebagai korespondensi. Menurutnya kebenaran
merupakan masalah metabahasa, bukan masalah korespondensi.
i.
Dalam pandangan Popper, perkembangan ilmu pengetahuan
merupakan sebuah proses evolusi. Bagi Popper pengetahuan ilmiah berkembang
menuju masalah yang semakin besar mirip sebagaimana hubungan antara variasi
genetis dan seleksi alam. Popper mengembangkan sebuah metode falsifikasi yang
merupakan sebuah metode empiris yang dikembangkan Popper sebagai reaksi
terhadap verifikasionisme Lingkaran Wina dengan mengambil titik tolak penenlitian
ilmiah adalah problem/masalah bukan observasi empiris.
j.
Dalam The Open Society and its Enemies dan The
Poverty of Historicism, Popper meampilkan sebuah pandangan kritik sejarah (critique
of Historicism) dan pembelaan terhadap Open Society.[6]
2.2.2 Induksi dan Fakta Keras
Bagi para
praktisi ilmu, metode induksi sering tidak pernah jadi persoalan, namun bagi
pengamat, teoritisi dan filsuf ilmu, induksi selalu menjadi problem. Persoalan
yang paling mendasar bagi mereka adalah, bahwa metode induksi yang berangkat
dari beberapa kasus particular kemudian
dipakai untuk menciptakan hokum umum dan mutlak perlu.
Filsuf yang
secara radikal menolak proses generalisasi induktif adalah David Hume.
Sementara Popper sendiri, dalam hal ini setuju dengan Hume, bahwa
peralihan dari yang particular ke yang universal itu secara logis tidak sah.
Adapun
beberapa gagasan Popper sehubungan dengan penolakannya terhadap gagasan
lingkaran Wina adalah:
Popper
menentang prinsip demarkasi antara ilmu yang bermakna dan tidak bermakna
berdasarkan metode verifikatif induktif. Dia mengusulkan suatu demarkasi lain,
yaitu demarkasi antara ilmu yang ilmiah dan tidak ilmiah berdasarkan tolak ukur
pengujian deduktif.
Metode
verifikasi induktif diganti dengan metode falsifikasi deduktif. Namun tidak
seperti Hume yang membuang induksi atau Kant yang mendudukkan induksi pada
tataran sintesis a priori, Popper justru meletakkan penalaran induktif pada tataran
awal, pra ilmiah dalam langkah pengujian deduktif.
Secara
khusus Popper mengkritik pandangan Neo-Positivisme (Vienna Circle) yang
menerapkan pemberlakuan hukum umum dan menganggapnya sebagai teori ilmiah. Bagi
Popper suatu teori tidak bisa dikatakan ilmiah hanya karena dapat dibuktikan
kebenarannya. Namun sebaliknya suatu teori dapat dikatakan ilmiah apabila dapat
diuji (tastable), dalam arti dapat diuji melalui percobaan-percobaan sistematis
untuk menyangkalnya. Apabila suatu teori dapat bertahan melawan segala
penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau teori tersebut semakin kokoh
kebenarannya. Menurut Popper, teori-teori ilmiah selalu dan hanya bersifat
hipotesis, tidak ada kebenaran terakhir.
Pandangan
Popper tersebut menunjukkan bahwa proses pengambangan ilmu bukanlah denganjalan
akumulasi hasil dari pengumpulan bukti-bukti positif yang mendukung suatu teori
sebagaimana pandangan Neo-Positivisme. Bagi Popper, proses pengambangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi
terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error elimination).[7]
Penolakan
lainnya adalah tentang fakta keras. Popper berpendapat bahwa fakta keras yang
berdiri sendiri dan terpisah dari teori, sebenarnya tidak ada, karena fakta
keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau
pendugaan tertentu. Dengan demikian pernytaan pengamatan yang dipakai sebagai
landasan untuk membangun teori dalam positiivisme logis tidak pernah bisa
dikatakan benar secara mutlak.
Problem
demarkasi dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan
sebuah kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika
dan system-sistem metafisik. Kriteria verifibialitas bukanlah suatu kriteria
demarkasi ilmu, melainkan sebagai kriteria kemaknaanya. Logika induktif dan
prinsip verifibialitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika)
tidak bermakna sama sekali. Logika induktif dan kriteria demarkasi dan logika
induktif menyebabkan terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu
pengetahuan, yang pada gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya. Oleh karena
itu Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan membuat demarkasi
lain dengan kriteria falsifikkasi.
Menurut
Popper pada dasarnya setiap pernyataan ilmiah mengandung kemampuan untuk
disangkal. Ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan
terbuka pada kemungkinan falsifikasi empiris. Dengan logika deduktif, maka
generalisasi empiris atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara
empiris, tetapi tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya
hukum-hukum ilmiah dapat diuji, meskipun tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan
secara induktif.
1.2.3
Teori Falsifikasi
Teori
Falsifikasi adalah suatu pembuktian atau pembeberan bahwa suatu pandangan atau
teori itu salah. Suatu teori dapat dikatakan salah apabila hanya didasarkan
pada hasil observasi dan eksperimen tanpa percobaan dan kesalahan (Trial and
Error). Untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh
Neo-positivisme, Popper membuat sistem kerja ilmu dengan teori Falsifikasi.
Teori tersebut antara lain sebagai berikut:[8]
1. Suatu
pengetahuan empiris/ilmiah dinyatakan benar bila sistem tersebut dapat diuji
(falsifiabilitas) bukan veribialitas.
2. Secara
metodologi, falsifikasi harus meragukan suatu pengetahuan yang mungkin ada
kesalahan dalam mengamati.
3. Suatu
hipotesis apabila ia akan menjadi bagian dari illmu, maka suatu hipotesa harus
falsifabel, sebelum melangkah lebih jauh.
4. Teori harus
dinyatakan dengan jelas, cermat dan jelas.
5. Adanya
dugaan-dugaan spekulasi yang berani. Semakin besar jumlah teori pendugaan
dikonfrontasikan dengan realitas, semakin besar jumlah kesempatan kemajuan yang
penting dalam ilmu.
1.2.4
Trial and Error
Selain teori
falsifikasi, Popper juga menggagas suatu metode praktis untuk memecahkan
masalah yaitu Trial And Error. Yaitu suatu metode percobaan dan
pembuangan kesalahan. Metode ini dipakai dalam pperkembangan pikiranmanusia,
terutama perkembangan filsafat. Metode percobaan dan pembuangan kesalahan pada
hakekatnya adalah metode penyingkiran. Teori ini kemudian dikenal sebagai metode
Problem Solving.
1.2.5
Pandangan Karl Popper Tentang Tiga Dunia
Menurut
Popper, dunia memiliki tiga arti, yakni dunia objektif (dunia 1) yakni dunia
fisik, dunia pengalaman/psikis (dunia 2) yakni dunia pengalaman dan kenyataan
psikis dalam diri manusia, dan dunia ide (dunis 3) yakni segala pemikiran
manusia berupa produk material dan immaterial. Tiga dunia ini saling berkaitan
satu sama lain. Sementara para positivisme denga metode verifikasinya hanya
menekankan dunia objektif, sehingga klaim tentang kebenaran menjadai berat
sebelah.
1.3
Refleksi Atas pemikiran Karl Popper
Bila memperhatikan cara kerja yang
begitu teliti dan cermatnya Popper, serta sikap keterbukaannya (open anded)
terhadap dunia keilmuan, maka hal yang patut kita tarik benang merahnya ialah bahwa
ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak (close) tidak kebal kritik (Truth Claim)
tetapi bersifat relatif dan partikularis dengan asumsi akan ada pemikiran baru
yang akan merevisi atau megklasifikasi setiap hasil pernyataan serta simpulan
pemikiran ilmu pengetahuan. Salah satu karakter ilmu pengetahuan adalah
menerima pengetahuan lain sebagai alat penguji atas kelemahan prosedur, metode
atau hasil temuan manusia.[9]
Terlepas dari kekuatan teori
falsifikasi, ada beberapa kelemahan yang harus di utarakan. Misalnya,
falsifikasi atas sebuah teori menggugurkan teori tersebut, tetapi falsifikasi
tidak membuktikan batalnya satu teori, sekaligus juga menunjukkan gugurnya
teori lain, yang sudah mendahului dan berkaitan dengan teori yang di gugurkan
(difalsifikasi). Dengan kata lain falsifikasi terbatas pada satu teori, tanpa
melihat hubungan teori tersebut dengan teori lain. Padahal satu teori selalu
berkaitan dengan teori lain. Dengan kata lain, jika ditahap awal suatu teori
sduah gugur dalam pengujian secara falsifikatoris, berarti secara tegas
falsifikasi menghentikan suatu teori sebelum berkembang.
BAB III
KESIMPULAN
1. Sir Karl Raymund Popper lahir di Vienna, Austria, 28 Juli 1902-meninggal di London, Inggris pada tanggal 17
September 1994 pada umur 92 tahun. Ia merupakan seorang filsuf dan profesor
asal Vienna dan Inggris. Dia juga disebut sebagai filsuf terbesar abad 20
dibidang filsafat ilmu.
2.
Popper melancarkan kritik keras terhadap psokologisme,
naturalisme, dan positivisme logis. Ketiga cara pandang yang dihasilkan melalui
metode verifikatori ini, menarik garis demarkasi yang tegas dalam memisahkan
ilmu pengetahuan, dari yang bukan ilmu pengetahuan. Ketiganya menggunakan
logika yang empirisme yang bersifat observatoris dan induktivistik, sementara
Popper menggunakan logika kritis-rasional, karena dia beranggapan bahwa teori
ilmu pengetahuan pada dasarnya abstrak dan dapat di uji secara tidak langsung
berkaitan dengan akibat-akibat yang ditimbulkan.
3. Ilmu
pengetahuan tidak bersifat mutlak (close) tidak kebal kritik (Truth Claim)
tetapi bersifat relatif dan partikularis dengan asumsi akan ada pemikiran baru
yang akan merevisi atau megklasifikasi setiap hasil pernyataan serta simpulan
pemikiran ilmu pengetahuan. Salah satu karakter ilmu pengetahuan adalah
menerima pengetahuan lain sebagai alat penguji atas kelemahan prosedur, metode
atau hasil temuan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
K.
Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2001),
hlm.27-48
Poespowardojo
& Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, hlm. 72
K.R. Popper,
“The Logic of Scientific Discovery” (New York: Basic Books, 1959), hlm
34.
Komentar
Posting Komentar