CONTEXT OF INTEGRATION ( PERPADUAN)
BAB VI PROGRAM RISET IMRE LAKATOS: CONTEXT OF INTEGRATION ( PERPADUAN)
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
FILSAFAT ILMU
Disusun Oleh: KELOMPOK 5
SRI RAHAYU ( NIM. P2A119004 ) DESI GUSDARTI ( NIM. P2A119011 )
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAMBI
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Program Riset Imre Lakatos: Context Of Integration. Makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu pada Program studi Megister Teknologi Pendidikan. Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan, saran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jambi, Oktober 2019
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah............................................................................ 1 C. TujuanMasalah ........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Imre Lakatos ...................... ................................................... 3 B. Latar Belakang Pemikiran Imre Lakatos ............................................. 4 C. Posisi Dasar .............................................................................. .............. 5 D. Perlunya Pendekatan Yang Menyeluruh ................................................. 9
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................ 15 B. Saran ...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Ilmu berawal dari keingintahuan manusia atas fenomena yang ada disekitarnya ataupun tentang dirinya sendiri. Pada awalnya hasrat ingin mengetahui itu terhambat oleh berbagai mitos yang berkembang di masyarakat. Mitos berhasil tertanam didalam pikiran manusia, karena keterbatasan pikiran manusia itu sendiri untuk memberikan dan memperoleh penjelasan yang masuk akal. Salah satu misi ilmiah adalah meruntuhkan berbagai mitos melalui penjelasan ilmiah yang dapat memuaskan kedahagaan keingintahuan. Pembahasan mengenai filsafat ilmu tentu tidak lepas dari membahas sejarah awal mula ilmu dan pengetahuan, pengertian, proses, jenis-jenisnya, prosedur, paradigma, kerangka dasar teori keilmuan, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang kita tau, bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai ilmu jika telah melalui proses penelitian, pembuktian dan lain-lain Akhirnya, muncullah beberapa pemikir yang mencoba mendobrak dominasi ini dengan memunculkan filsafat baru. Diantara mereka salah satunya adalah Imre Lakatos.Imre Lakatos mengambil jalan tengah atas pemikiran Khun dan Popper.Lakatos ingin mengembangkan dan mengkritik atas kekurangan dari pemikiran Popper dan menghasilkan metode baru yang selanjutnya disebut Program Riset. Imre Lakatos lebih tertarik dengan menengahi antara perubahan paradigma Kuhn dan falsifikasi Popper.Pemikiran Lakatos berkaitan dengan struktur teori. Pemikiran ini berpendapat bahwa dalam sebuah teori terdapat sebuah inti teori yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pemikiran imre lakatos tentang program riset.
B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah biografi Imre Lakatos ? 2. Bagaimanakah latar belakang pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset?
1
v
3. Bagaimanakah konsep metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset? 4. Bagaimanakah manfaat metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset dalam perspektif kajiannya ?
C. TUJUAN PENULIS 1. Untuk mengetahui biografi Imre Lakatos. 2. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset. 3. Untuk mengetahui konsep metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset. 4. Untuk mengetahui manfaat metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset dalam perspektif kajiannya.
2
vi
BAB II PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI IMRE LAKATOS Lakatos, yang nama aslinya Imre Lipschitz, lahir di Hungaria 9 Nopember 1922 dari keluarga Yahudi. Ia menyelesaikan pendidikan awal di daerahnya, meskipun kala itu Hungaria berada dalam masa-masa sulit, terutama ketika menghadapi caru marutnya perang dunia. Ia mendapat ijazah dalam bidang matematika, fisika, dan filsafat pada tahun 1944 dari University of Debrecen. Pada tahun yang sama Hitler menawarkan kepada Hungaria, apakah negara ini akan berpihak kepadanya atau angkatan perang Jerman menduduki negeri itu. Tahun 1947 dia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan, namun tidak lama setelah akibat perbedaan dan kekacauan politik, ia dijebloskan ke penjara. Setelah keluar, ia mulai aktif di bidang akademik dengan menerjemahkan buku matematika ke bahasa Hungaria. Masalah-masalah ini dikaji dalam buku-bukunya Karl R. Popper. Karena pada tahun 1956 terjadi revolusi, Imre Lakatos lari ke Wina yang akhirnya sampai ke London. Di London inilah kemudian Imre Lakatos melanjutkan studi di Cambridge University dan memperoleh gelar doktor setelah mempertahankan desertasinya: Proofs and Refutations: The Logic Of Matematical Discovery (karya yang membahas pendekatan terhadap beberapa metodologi matematika sebagai logika penelitian). Tahun 1963 ia menulis Proofs and Refutations menjadi empat bagian dalam British Journal for Philosophy of Science. Lakatos banyak menulis tentang filsafat matematika sebelum ia bergeser untuk menulis dalam bidang filsafat sains. Dalam karya tersebut tampak jelas kontribusi Lakatos terhadap filsafat matematika, yang mana ia membuatnya menjadi sederhana dan memastikan bahwa pokok materi (subyek) matematika tidak pernah akan sama lagi. Lakatos membuat kita berpikir sekitar apa yang kebanyakan para ahli matematika lakukan. Ia menulis suatu dialog filosofis yang mengagumkan tentang tanda bukti yang mendasar sebagaimana muncul dalam ilmu geometri yang dipelopori oleh Euler. Ini merupakan suatu seni karyaintelektual
3
vii
yang sangat baik. Karyanya ini disebut-sebut mirip seperti dialog yang pernah dibuat oleh Hume, Berkeley, atau Plato. Setelah diangkat menjadi pengajar pada london school of economic, dia sering terlibat diskusi dengan Popper, Feyerabend, dan Kuhn untuk membantu memantapkan gagasannya tentang Metodology of Scientific Research Programmes, sehingga pada tahun 1965, Lakatos mengadakan suatu simposium yang mempertemukan gagasan Kuhn dan Popper. Pada tahun 1968 Lakatos menerbitkan karyanya yang berjudul:Criticism and the methodology of scientific programmes, sebagai evaluasi atas prinsip falsifikasi dan upaya perbaikan atas kelemahan dan kekurangannya. Lakatos meninggal pada 2 Februari 1974 di London sebelum menyelesaikan karyanya yang berjudul: “The Changing Logic Of Scientific Discovery” sebagai pembaruan dari karya Popper yag berjudul: “The Logic Of Scientific Discovery”.[4] Lakatos meninggal pada 2 Pebruari 1974 di London sebelum ia sempat menyelesaikan karyanya, The Changing Logic of Scientific Discovery.
B. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN IMRE LAKATOS Imre Lakatos (1922-1974) adalah murid Popper yang berusaha mendamaikan pemikiran Popper mengenai falsifikasi dan pemikiran Kuhn tentang paradigma. Menurut Lakatos, teori falsifikasi jika diterapkan sebagaimana yang dimaksud Popper akan menhasilkan falsifikasionisme yang naif, maka falsifikasi harus diperlakukan lebih menyerupai sebuah program riset ketimbang pernyataan universal mengenai pembuktian empiris. Lakatos yang dikenal sebagai filsuf matematika dan filsafat ilmu pengetahuan menulis tesis mengenai falibilitas matematika serta metodologi pembuktian dan penolakan yang disebutnya Metodologi Program Riset (dalam bidang ilmu pengetahuan) matematika. Lebih dekat dengan Kuhn, Lakatos menekankan proses historis dalam penelitian yang dijiwai oleh pengalaman Trial and Error. Berdasarkan beberapa argumen tersebut, maka tak heran apabila beberapa ilmuwan dan penulis justru mengategorikan Lakatos sebagai Popperian dalam upayanya memperbaiki teori-teori pemikiran Popper dengan mengambil hasil-hasil pemikiran Kuhn.Bahkan ada yang mengatakan bahwa model Lakatos
4
viii
merupakan pengembangan pemikiran Kuhn tentang paradigma dan perluasan dari teori falsifikasi Popper. Dalam hal pengembangan dari pemikiran Kuhn adalah bahwa Lakatos memperhitungkan dan menekankan sejarah pentingnya penyusunan beberapa penelitian alternatif pada waktu yang sama dan masalah yang sama. Sedangkan upaya perluasan Lakatos terhadap pemikiran falsifikasi Popper tampak ketika dia menyatakan bahwa tugas utama tidak dijadikan teori sendiri-sendiri, namun menjadi program, yang masing-masing meliputi teoriteori berganda. Teori berganda meliputi inti (core) yang tersusun dari pendapat atau prinsip dasar, dan ikat pinggang (belt) yang terdiri dari pendapat atau prinsip jadian atau hipotesis pembantu.
C. POSISI DASAR 1. Teori Bergerak Dalam Dinamika Pembuktian dan Penolakan Penolakan terhadap klaim kebenaran universal dilakukan melalui metode verifikasi maupun falsifikasi. Sejak lakatos diterima mengajar di London School of Economics dalam tahun 1960, dasar pemikiran diatas dikembangkan. Di institut ini, lakatos bertemu dengan Karl Popper dan John Watkins. Karya filosofis Lakatos dipengaruhi dialektika Hegel dan Marx serta teori ilmu pengetahuan dari Popper dan ahli matematika George Poyla. Buku Proofs And Refutations merupakan esai dalam bidang logika matematika. Dalam buku ini, Lakatos membuktikan bahwa teorema dalam ilmu matematika tidak memiliki kepastian mutlak sehingga sebagai sebuah hukum, teorema berlaku sejauh belum ada yang menentang dan menggantikannya. Hukum matematika adalah sarana yang digunakan untuk meramalkan atau memprediksi (conjecture) secara matematis. Dengan kata lain, hukum matematika berlaku sejauh tidak ada penolakan (counterexamples). Tidak ada teorema matematika yang bersifat final atau ferfect dengan kata lain tidak harus teorema pasti benar, tetapi bahwa belum ada lawannya yang membuktikan sebaliknya. Sekali sebuah teorema baru ditemukan tetapi tidak berhasil membatalkan teorema berlaku, maka kedudukan teorema tersebut menjadi kuat. Ini merupakan hal yang biasa
5
ix
dalam perkembangan pengetahuan yang berlangsung dalam dinamika pembuktian dan penolakan (proofs and refutations).
2. Heurisme Kata yunani eurike merupakan asal-usul kata heuristic dalam bahasa inggris yang melukiskan bahwa ilmu pengetahuan muncul sebagai sebuah penemuan (discovery) yang melewati dinamika trial and error. Ilmu pengetahuan pertama-tama bukan masalah pembuktian benar atau salah, melainkan insight yang ditemukan sebagai pemecahan masalah. Pengalaman “a-ha” (oh ini toh!) mengakhiri ketidaktahuan dan pencarian sebelumnya. Bagi Lakatos, matematika hanya membantu sebagai sarana untuk memahami sesuatu, tetapi matematika tidak memberi jaminan 100 persen kepastian ilmu pengetahuan. Sebagai sarana, matematika dapat membuktikan fakta kendati pembuktian matematis tersebut bersifat kuasiempiris. Lebih jauh Lakatos mengatakan bahwa matematikawan dapat memutuskan suatu bukti valid secara metematis, tetapi tidak secara dialektis, maka harus diterima bahwa validitas matematis bukanlah bukti empiris, kecuali itu merupakan usaha untuk memprediksi suatu kenyataan. Berdasarkan pandangan Lakatos mengenai matematika ini, ia mau memperlihatkan kelemahan pandangan empiris-positivistik dari Lingkaran Wina yang mengklaim bahwa pengetahuan ilmiah didapat melalui verifikasi semata. Kritik yang sama ditujukan Lakatos terhadap teori falsifikasi dari Popper yang mengatakan bahwa pengetahuan ilmiah hanya dapat diperoleh melalui falsifikasi. Dengan menggunakan konsep heurisme, Lakatos menunjukan kelemahan verivikasi, sekaligus mengatasi keduannya. Lakatos membandingkan teori falsifikasi dan perubahan pradigma dan menentukan kelemahan apabila keduannya dipakai sendiri-sendiri dalam upaya menyimpulkan pengetahuan yang benar. Dengan kata lain, falsifikasi dan perubahan paradigma masing-masing tidak cukup untuk menjelaskan kebenaran ilmiah, kecuali keduanya diintegrasikan dalam sebuah program riset yang progresif.
6
x
Pertama, teori Popper sering secara keliru dikutip untuk menjelaskan bahwa ilmuwan berhenti menggunakan sebuah teori segera setelah ditemukan bukti yang mempermasalahkan sebuah teori, dan segera menggantikannya dengan teori baru yang lebih baik. Secara singkat, tesis utama Popper adalah seruan bagi ilmuan untuk tidak lagi memakai teori yang terbukti tidak bisa difalsifikasi. Teori yang tidak difalsifikasi tidak laku lagi dan harus segera digantikan dengan teori baru (mengembangkan hipotesis baru yang lebih baik). Kedua, Kuhn menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan normal (didalam preiode tertentu) dan (akan) berhadapan dengan anomali-anomali yang berbaur sampai terjadi suatu perubahan baru. Tesis Kuhn adalah masyarakat ilmiah selalu menggunakan ilmu pengetahuan normal (normal science). Tesis Popper menolak inkonsistensi untuk menekan bahwa konsistensi adalah prinsip kebenaran ilmiah, maka ia menekankan apa yang seharusnya (de iure) dilakukan ilmuwan. Tesis Kuhn menerima inkonsistensi untuk menekankan bahwa apa yang kita pahami sebagai ilmu pengetahuan adalah secara aktual (de facto) dilakukan ilmuwan. Lakatos menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan berhubungan dengan dinamika pembuktian dan penolakan. Pembuktian mengeliminasi apa yang tidak terbukti dan apa yang tidak terbukti menjadi substansi penolakan sehingga keduannya menegaskan bahwa ilmu pengetahuan merupakan apa yang terbukti diterima secara rasional.
3. Hard Core dan Protective Bell Melalui perbandingan kedua tesis, Lakatos menemukan sebuah metodologi yang menyeimbangkan dua pandangan yang bertentangan itu, dengan maksud menyediakan sebuah uraian rasional mengenai perkembangan ilmu pengetahuan yang konsisten dengan data historis. Bagi Lakatos, apa yang kita pikirkan sebagai teori, meski sekecil apapun, bukan sesuatu yang sama sekali baru, tetapi merupakan lanjutan dari teori atau teknik penelitian yang selama ini berkembang dimasyarakat. Apa yang baru dan yang lama dapat bertemu sebuah titik, yakni kesamaan tertentu yang
7
xi
terdapat pada yang baru dan yang lama. Lakatos menamakan elemen yang sama pada teori lama dan baru sebagai hard core. Perubahan yang terjadi melalui riset menambahkan koleksi ilmu pengetahuan. Ilmuwan yang terlibat dalam sebuah progran penelitian harus menjaga inti teorinya (the theoretical core) dengan sabuk pelindung barupa hipotesis-hipotesis pendukung (auxiliary hypotheses) terhadap usaha-usaha yang menyanggahnya.
4. Program Riset Progresif Berbeda dengan Popper yang menganggap hipotesis pendukung hanya bersifat ad hoc, Lakatos ingin memperlihatkan bahwa penggunaan hipotesis pendukung bukanlah hal yang tidak berguna, melainkan hal penting dalam riset tanpa harus bertanya apakah sebuah hipotesis benar atau salah. Lakatos mengemukakan bahwa petanyaan yang lebih penting mengenai ilmu pengetahuan bukan soal “benar” (melalui verifikasi) atau “salah” (melalui falsifikasi), melainkan apakah program riset yang kita buat lebih baik dari pada yang lain sehingga kita melakukan dengan gembira sebagai pilihan yang lebih baik? Dalam bahasa Lakatos, apakah program riset kita bersifat progresif. Artinya, hard core riset dibangun dalam sebuah prosedur yang didukung oleh hipotesis pendukung yang mengamankan riset untuk mencapai tujuannya. Sebuah program riset bersifat progresif (berkembang) apabila ada perkembangan berupa penemuan fakta baru, pengembangan teknik eksperimen yang baru, akurasi prediksi yang lebih jitu, dan lain-lain. Apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi dalam sebuah program riset, maka program riset tersebut bersifat degeneratif karena tidak menunjukan perkembangan yang memungkinkan penemuan fakta baru. Program riset yang bersifat progresif ditandai oleh kemajuankemajuan dalam menemukan fakta baru yang spektakuler, pengembangan teknik pengamatan teknik pengamatan yang baru, prediksi yang lebih jitu, dan seterusnya. Sebaliknya, suatu program riset tersebut bersifat
8
xii
degeneratif apabila tidak ada kemajuan dan penemuan fakta baru, terutama karena tidak ada hipotesis pendukung yang berfungsi sebagai sabuk pengaman hard core penelitian, lalu menjadi hambatan lagi bagi penemuan fakta baru. Program riset yang diperkenalkan oleh Lakatos merupakan alternative untuk mengatasi kelemahan verifikasionisme dan falsifikasionisme. Program riset adalah sebuah metode empiris yang secara realistis menyintesiskan metode verifikasi dan falsifikasi melalui sebuah program riset yang ingin mempertahankan apa yang ada didalam filsafat ilmu pengetahuan T. Kuhn dinamai ilmu pengetahuan normal sambil memberi tempat pada penggunaan hipotesis-hipotesis baru untuk menguji kebenaran ilmiah. Program riset memperhatikan teori dalan konteks ilmiah bahwa inti program riset harus terus-menerus diperkuat oleh pengujian-pengujian atau hipotesis yang tak terbatas, dengan demikian inti program riset terusmenerus diperbaiki menjadi pengetahuan ilmiah. Dengan ini, Lakatos ingin mempertahankan aspek historisitas ilmu pentegahuan dari T. Kuhn dengan mempratikkan falsifikasi Popperian yang diperlunak.
D. PERLUNYA PENDEKATAN YANG MENYELURUH Apa perbedaan pendekatan parsial dengan pendekatan komprehensif mengenai problem ilmu pengetahuan? Pendekatan parsial menekankan aspek tertentu yang menurutkan penulisnya menjadi metode yang paling representatif, dan karena itu lebih unggul dibandingkan dengan pendekatan parsial merupakan salah satu dari pendekatan menekankan metodenya yang dianggap paling unggul untuk menjelaskan, memahami, dan mengatasi problem ilmu pengetahuan. Buku ini merupakan usaha untuk melihat problem ilmu pengetahuan sebagai suatu masalah yang kompleks. Karena itu, pendekatan interdisiplin menjadi pilihan untuk mendorong kerja sama yang memanfaatkan setiap metode secara kritis bagi pemahaman dan pemecahan masalah ilmu pengethuan. Sebagai sebuah bacaan filsafat ilmu pengetahuan, buku ini membicarakan problem ilmu pengetahuan dari sudut yang berbeda-beda, yakni ontologi, epistimologi, dan
9
xiii
etis, tetapi saling melengkapi untuk menjelaskan, memahami, dan memecahkan problem ilmu pengetahuan yang dihadapi manusia sebagai pribadi, kelompok, dan masyarakat secara mendasar, rasional, dan etis.
1. Yunani Sebagai Asal-Usul Filsafat Pada awal abad VI sebelum masehi, terkenallah tujuh orang bijaksana di Melitos, Yunani, yaitu Thales, Kleobulos, Peirandos, Solon, Bias, Pittakos, dan Chilon. Mereka menerobos batas-batas kebiasaan yang tidak mempertanyakan secara rasional pengalaman sehari-hari, dengan bertanya tentang hakikat atau asal usul, arkhe, dari kenyataan yang tampak dalam pengalaman kehidupan sehari-hari. Mereka disebut filsuf terutama karena mereka memperlihatkan kemampuannya menerobos lingkaran kebiasaan yang tidak mempersoalkan hal ihwal sehari-hari. Dalam perkataan C.A Van Peursen, sesorang mulai berfilsafat ketika ia mulai mempertanyakan hal-hal yang bagi kebanyakan orang beranggapan biasabiasa saja. Dengan kata lain, bagi seorang filsuf tidak ada sesuatu di dunia ini yang biasa-biasa saja, tetapi luar biasa. Tujuh orang bijaksana tersebut tidak muncul secara tiba-tiba dalam kancah kehidupan bangsanya. Mereka lahir, bertumbuh, dan berkembang dewasa dalam masyarakat bangsanya dengan suatu pola pikir yang berbeda dari orang kebanyakan dengan suatu pola pikir yang berbeda dari orang kebanyakan. Mereka ingin mengubah cara pandang masyarakatnya yang selama ini menjelaskan kenyataan berdasarkan mitos, yakni cerita-cerita mengenai asal-usul alam semesta yang bersifat turun-temurun tanpa mempertanyakan kebenarannya secara kritis. Keberanian menerobos kebiasaan berpikir mistis (berdasarkan mitos) menjadi berpikir logis (berdasarkan logos atau pertimbangan akal budi) menandai peralihan suatu era, dari mitos ke logos. Yang menarik ialah logos mengenai arkhe (asas atau prinsip) sejak awal sudah menimbulkan perbedaan pendapat di antara para filsuf dan ini merupakan problem ilmu pengetahuan yang paling awal, yakni problem ontologis.
10
xiv
Ontologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) mengenai asal-usul (arkhe) dari apa yang tampak sebagai kenyataan (ontos). Thales mengambil “air” sebagai arkhe atau subtansi terdalam (hakikat), yang menentukan semua kenyataan. Anaximandros mengatakan hakikat kenyataan harus merupakan “sesuatu yang tak terbatas” atau to apeiron. Alasannya, apabila kita menerima bahwa hakikat dari kenyataan adalah “air”, maka bagaimana kita menjelaskan dan memahami bahwa air itu asal-usul dari api? Anaximandros meyakini asal-usul alam semesta haruslah sesuatu yang bersifat tak terbatas yang memungkinkan adanya unsur-unsur yang bertentangan, sepseti air (basah) dan api (kering). Anaximandros menyebut “udara” sebagai asal-usul atau hakikat kenyataan karena melalui proses pemadatan dan pengenceran, udara menghasilkan gejala konkret (kenyataan) dalam bentuknya sebagai air atau api. Empedokles mengatakan hakikat kenyataan adalah “api, udara, tanah dan air”. Menurut dia, seluruh kenyataan berasal-usul dari empat unsur tersebut karena pada prinsipnya semua hal dapat dikembalikan kepada anasir-anasir dasar tersebut. Pemikiran ontologis tersebut dilanjukan oleh para filsuf belakangan, seperti Herakleitos dan Parmenides. Akan tetapi pencarian rasional mengeani hakikat kenyataan oleh Herakleitos, Parmenides, dan Plato tidak lagi mengacu pada anasir alam, melainkan pada idea atau pemikiran. Herakleitos meyebut hakikat kenyataan adalah perubahan. Menurut dia, realitas tampak bagi kita sebagai sesuatu yang tidak tetap, tetapi sesuatu yang selalu berubah. Plato mengembangkan pemikiran ontologism tersebut dalam filsafatnya mengenai asal-usul kenyataan pad aide tentang yang baik (bonum atau the good). Bagi Plato, ide merupkan asal-usul kenyataan. Ide merupakan the really real karena apa yang tampak sebagai kenyataan (phenomenon) hanyalah tiruan (mimesis) apa yang sesungguhnya ada. Kenyataan bersifat majemuk disimpulkan secara deduktif dari suatu prinsip, yakni idea universal. Aristoteles melanjutkan pembicaraan mengenai hakikat secara metafisis dari dunia phenomenon yang tampak majemuk menyimpulkan adanya prinsip pemersatu sebagai idea universal. Secara metodik, Plato merumuskan hakikat kenyataan secara deduktif berpusat
11
xv
pada idea universal, sedangkan Aristoteles merumuskan hakikat kenyataan melalui cara induktif, yakni dari apa yang tampak dan dialami dalam pengalaman. Dari sana disimpulkan “prinsip universal” yang mendasari kenyataan majemuk. Tidak di sangkal bahwa pendekatan Ontologis dalam filsafat ilmu pengetahuan membawa kemajuan berupa pengenalan hakikat kenyataan menurut aspek-aspek tertentu, tergantung pada bagaimana ontology digunakan oleh aliran-aliran seperti realism, naturalism, dan empirisme dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Pendekatan Ilmu Pengetahuan Dalam Context Of Integration Ilmu pengetahuan pada hakikatnya bersifat rasional, metodis, dan sistematis. Bahasa ilmu pengetahuan menekankan argument yang logis sehingga siapa pun dapat memahami dengan menggunakan rasio. Sifat logis tersebut menuntut disiplin berfikir yang dilakukan secara terencana untuk mencapai sebuah tujuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan bersifat metodis. Berdasarkan sebuah cara untuk mencapai tujuan penjelasan ilmiah, maka metode menekankan cara menjelaskan sesuatu secara menyeluruh sebagai sebuah system yang memudahkan pemahaman yang bersifat komprehensip. Dengan demikian, problem ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek ontologism, epistimologis, dan etis yang dapat dilihat sebagai sudut pandang berbeda mengenai realitas. Perbedaan sudut pandang tersebut dapat diintegrasikan dalam sebuah cara yang menekankan rasio sebagai pinsip untuk memahami persoalan ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Dengan kata lain, perdekatan ilmu pengetahuan bersifat ateis, yang berate pendekatan itu secara tidak langsung dikaitkan dengan masalah ketuhanan dalam iman kepercayaan apa pun. Hal ini berarti bahwa pendasaran ilmu pengetahuan adalah akal budi, bukan iman-kepercayaan. Iman-kepercayaan itu penting, tetapi tidak digunakan untuk menjelaskan kebenaran ilmu pengetahuan. Iman kepercayaan membantu dengan memberi motif bagi manusia untuk menerima keterbatasan akal budi, tetapi
12
xvi
tidak membatalkan pendasaran ilmu pengetahuan pada perhitungan nasional. Kontroversi mengenai hubungan ilmu dan iman sesunguhnya sudah menjadi masalah yang serius sejak percepatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diakhir abad XX menghasilkan prestasi-prestasi yang gemilang. Bom atom yang digunakan dalam perang dunia II menunjukan kemampuan manusia mengunakan akal budinya menciptakan teknologi yang berpotensi mengakhiri kehidupan secara mengerikan. Bercermin pada kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak hanya menghasilkan kemajuan, tetapi juga merusak kehidupan, para ilmuwan mulai berfikir untuk menintegrasikan pandangan agama dan ilmu pengetahuan mengenai kehidupan, bahwa kisah penciptaan dan riwayat ilmu biologi dapat saling melengkapi pemahaman manusia tentang makna kehidupan. Ahli fisika modern F. Capra mengatakan bahwa pemisahan ilmu dan iman merupakan pernyataan yang salah mengenai realitas. Capra menyoroti hubungan ilmu dan iman sebagai paradigma baru mengenai pemahaman yang benar tentang realitas. Capra melihat paradigma baru tersebut sebagai titik balik (turning point) yang menghargai secara seimbang fisika sebagai ilmu metafisika sebagai sebuah system kepercayaan yang mendasari pemahaman realitas fisik. Pemikiran mengenai turning point merupakan perubahan pandangan ilmiah mengenai alam sebagai kesatuan akal budi dan iman. Dalam the turning point Capra berpendapat bahwa model-model fisika dewasa ini menyiratkan sebuah paradigma baru. Ia memberi contoh Faraday dan Maxweel, sewaktu memperlajari tenaga listrik dan magnet, menemukan bahwa adalah lebih masuk akal untuk berbicara mengenai suatu “medan magnet” (Force Field) dari pada magnet begitu saja. Dengan teori medan magnet, kita bisa menjelaskan bahwa magnet menimbulkan imbas atas benda lain dan seterusnya. Teori ini berbeda dengan teori newton yang mengatakan bahwa medan magnet merupakan kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dipelajari sendiri dan dapat dipelajari tanpa menghubungkan dengan benda lain.
13
xvii
Eintein pun mengoreksi Newton yang menjelaskan cahaya menurut teori tentang magnet. Bagi Eintein, cahaya itu bukanlah apa-apa, melainkan suatu perubahan wilayah elektromagnetik secara cepat melalui ruang dalam bentuk gelombang, entah kita memahami cahaya sebagai (yang memiliki massa) atau sebagai gelombang, bergantung pada pengamatan dan system ukuran yang digunakan. Capra membenarkan pandangan Eintein bahwa revolusi riil yang dihasilkan oleh teori Eintein merupakan penolakan terhadap gagasan system koordinat ruang dan waktu sebagai hal yang bernilai objektif sebagai entitas fisis yang terpisah yang disalahartikan oleh Newton. Eintein yang mengajukan teori relativitas menyiratkan bahwa koodinat ruang dan waktu hanyalah elemen bahasa yang digunakan manusia untuk melukiskan situasi.
14
xviii
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Imre Lakatos lahir di Hungaria pada tanggal 9 Nopember 1922. Menyelesaikan studi di University of Debrecen pada bidang Matematika, Fisika, dan Filsafat. Pada tahun 1968 Lakatos menerbitkan karyanya yang berjudul: Criticism and the methodology of scientific programmes. Lakatos meninggal pada 2 Februari 1974 di London sebelum menyelesaikan karyanya yang berjudul: “The Changing Logic Of Scientific Discovery”. Pemikiran Imre Lakatos banyak dipengaruhi oleh pemikiran Popper tentang falsifikasi dan pemikiran Kuhn tentang adanya paradigm dalam ilmu pengetahuan. Sehingga Lakatos menggabungkan hasil dari pemikiran kedua tokoh tersebut dengan menggagas metodologi program riset, bahwa sebuah ilmu pengetahuan harus dibuktikan melalui sebuah program riset. Terdapat elemen-elemen penting dalam metodologi program riset imre lakatos, yaitu: a. Hardcore berfungsi sebagai heuristic negatif. b. Protective-belt yang terdiri dari hipotesa-hipotesa bantu (auxiliary hypothese) dalam kondisi-kondisi awal.
B. SARAN Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, jika ada kesalahan atau kekurangan harap dimaklumi dan diberi saran agar penulis bisa memperbaiki kesalahan yang ada dan mampu mengembangkan lebih baik akan makalah ini.
15
xix
DAFTAR PUTAKA
Mohammad Tamtowi,Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos Bagi Pengembangan Studi Islam , Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Dan Asumsi Dasar Paragigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yoyakarta, 2004 Poespowardojo, T.M. Soerjanto dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Kompas, Jakarta, 2015 Simon Blackburn, Kamus Filsafat, Pustaka Pelajar , Yogyakarta, 2013 Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu, Interkoneksi-Interkoneksi, Yogyakarta, 2016 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2016
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
FILSAFAT ILMU
Disusun Oleh: KELOMPOK 5
SRI RAHAYU ( NIM. P2A119004 ) DESI GUSDARTI ( NIM. P2A119011 )
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAMBI
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Program Riset Imre Lakatos: Context Of Integration. Makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu pada Program studi Megister Teknologi Pendidikan. Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan, saran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jambi, Oktober 2019
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah............................................................................ 1 C. TujuanMasalah ........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Imre Lakatos ...................... ................................................... 3 B. Latar Belakang Pemikiran Imre Lakatos ............................................. 4 C. Posisi Dasar .............................................................................. .............. 5 D. Perlunya Pendekatan Yang Menyeluruh ................................................. 9
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................ 15 B. Saran ...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Ilmu berawal dari keingintahuan manusia atas fenomena yang ada disekitarnya ataupun tentang dirinya sendiri. Pada awalnya hasrat ingin mengetahui itu terhambat oleh berbagai mitos yang berkembang di masyarakat. Mitos berhasil tertanam didalam pikiran manusia, karena keterbatasan pikiran manusia itu sendiri untuk memberikan dan memperoleh penjelasan yang masuk akal. Salah satu misi ilmiah adalah meruntuhkan berbagai mitos melalui penjelasan ilmiah yang dapat memuaskan kedahagaan keingintahuan. Pembahasan mengenai filsafat ilmu tentu tidak lepas dari membahas sejarah awal mula ilmu dan pengetahuan, pengertian, proses, jenis-jenisnya, prosedur, paradigma, kerangka dasar teori keilmuan, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang kita tau, bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai ilmu jika telah melalui proses penelitian, pembuktian dan lain-lain Akhirnya, muncullah beberapa pemikir yang mencoba mendobrak dominasi ini dengan memunculkan filsafat baru. Diantara mereka salah satunya adalah Imre Lakatos.Imre Lakatos mengambil jalan tengah atas pemikiran Khun dan Popper.Lakatos ingin mengembangkan dan mengkritik atas kekurangan dari pemikiran Popper dan menghasilkan metode baru yang selanjutnya disebut Program Riset. Imre Lakatos lebih tertarik dengan menengahi antara perubahan paradigma Kuhn dan falsifikasi Popper.Pemikiran Lakatos berkaitan dengan struktur teori. Pemikiran ini berpendapat bahwa dalam sebuah teori terdapat sebuah inti teori yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pemikiran imre lakatos tentang program riset.
B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah biografi Imre Lakatos ? 2. Bagaimanakah latar belakang pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset?
1
v
3. Bagaimanakah konsep metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset? 4. Bagaimanakah manfaat metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset dalam perspektif kajiannya ?
C. TUJUAN PENULIS 1. Untuk mengetahui biografi Imre Lakatos. 2. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset. 3. Untuk mengetahui konsep metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset. 4. Untuk mengetahui manfaat metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset dalam perspektif kajiannya.
2
vi
BAB II PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI IMRE LAKATOS Lakatos, yang nama aslinya Imre Lipschitz, lahir di Hungaria 9 Nopember 1922 dari keluarga Yahudi. Ia menyelesaikan pendidikan awal di daerahnya, meskipun kala itu Hungaria berada dalam masa-masa sulit, terutama ketika menghadapi caru marutnya perang dunia. Ia mendapat ijazah dalam bidang matematika, fisika, dan filsafat pada tahun 1944 dari University of Debrecen. Pada tahun yang sama Hitler menawarkan kepada Hungaria, apakah negara ini akan berpihak kepadanya atau angkatan perang Jerman menduduki negeri itu. Tahun 1947 dia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan, namun tidak lama setelah akibat perbedaan dan kekacauan politik, ia dijebloskan ke penjara. Setelah keluar, ia mulai aktif di bidang akademik dengan menerjemahkan buku matematika ke bahasa Hungaria. Masalah-masalah ini dikaji dalam buku-bukunya Karl R. Popper. Karena pada tahun 1956 terjadi revolusi, Imre Lakatos lari ke Wina yang akhirnya sampai ke London. Di London inilah kemudian Imre Lakatos melanjutkan studi di Cambridge University dan memperoleh gelar doktor setelah mempertahankan desertasinya: Proofs and Refutations: The Logic Of Matematical Discovery (karya yang membahas pendekatan terhadap beberapa metodologi matematika sebagai logika penelitian). Tahun 1963 ia menulis Proofs and Refutations menjadi empat bagian dalam British Journal for Philosophy of Science. Lakatos banyak menulis tentang filsafat matematika sebelum ia bergeser untuk menulis dalam bidang filsafat sains. Dalam karya tersebut tampak jelas kontribusi Lakatos terhadap filsafat matematika, yang mana ia membuatnya menjadi sederhana dan memastikan bahwa pokok materi (subyek) matematika tidak pernah akan sama lagi. Lakatos membuat kita berpikir sekitar apa yang kebanyakan para ahli matematika lakukan. Ia menulis suatu dialog filosofis yang mengagumkan tentang tanda bukti yang mendasar sebagaimana muncul dalam ilmu geometri yang dipelopori oleh Euler. Ini merupakan suatu seni karyaintelektual
3
vii
yang sangat baik. Karyanya ini disebut-sebut mirip seperti dialog yang pernah dibuat oleh Hume, Berkeley, atau Plato. Setelah diangkat menjadi pengajar pada london school of economic, dia sering terlibat diskusi dengan Popper, Feyerabend, dan Kuhn untuk membantu memantapkan gagasannya tentang Metodology of Scientific Research Programmes, sehingga pada tahun 1965, Lakatos mengadakan suatu simposium yang mempertemukan gagasan Kuhn dan Popper. Pada tahun 1968 Lakatos menerbitkan karyanya yang berjudul:Criticism and the methodology of scientific programmes, sebagai evaluasi atas prinsip falsifikasi dan upaya perbaikan atas kelemahan dan kekurangannya. Lakatos meninggal pada 2 Februari 1974 di London sebelum menyelesaikan karyanya yang berjudul: “The Changing Logic Of Scientific Discovery” sebagai pembaruan dari karya Popper yag berjudul: “The Logic Of Scientific Discovery”.[4] Lakatos meninggal pada 2 Pebruari 1974 di London sebelum ia sempat menyelesaikan karyanya, The Changing Logic of Scientific Discovery.
B. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN IMRE LAKATOS Imre Lakatos (1922-1974) adalah murid Popper yang berusaha mendamaikan pemikiran Popper mengenai falsifikasi dan pemikiran Kuhn tentang paradigma. Menurut Lakatos, teori falsifikasi jika diterapkan sebagaimana yang dimaksud Popper akan menhasilkan falsifikasionisme yang naif, maka falsifikasi harus diperlakukan lebih menyerupai sebuah program riset ketimbang pernyataan universal mengenai pembuktian empiris. Lakatos yang dikenal sebagai filsuf matematika dan filsafat ilmu pengetahuan menulis tesis mengenai falibilitas matematika serta metodologi pembuktian dan penolakan yang disebutnya Metodologi Program Riset (dalam bidang ilmu pengetahuan) matematika. Lebih dekat dengan Kuhn, Lakatos menekankan proses historis dalam penelitian yang dijiwai oleh pengalaman Trial and Error. Berdasarkan beberapa argumen tersebut, maka tak heran apabila beberapa ilmuwan dan penulis justru mengategorikan Lakatos sebagai Popperian dalam upayanya memperbaiki teori-teori pemikiran Popper dengan mengambil hasil-hasil pemikiran Kuhn.Bahkan ada yang mengatakan bahwa model Lakatos
4
viii
merupakan pengembangan pemikiran Kuhn tentang paradigma dan perluasan dari teori falsifikasi Popper. Dalam hal pengembangan dari pemikiran Kuhn adalah bahwa Lakatos memperhitungkan dan menekankan sejarah pentingnya penyusunan beberapa penelitian alternatif pada waktu yang sama dan masalah yang sama. Sedangkan upaya perluasan Lakatos terhadap pemikiran falsifikasi Popper tampak ketika dia menyatakan bahwa tugas utama tidak dijadikan teori sendiri-sendiri, namun menjadi program, yang masing-masing meliputi teoriteori berganda. Teori berganda meliputi inti (core) yang tersusun dari pendapat atau prinsip dasar, dan ikat pinggang (belt) yang terdiri dari pendapat atau prinsip jadian atau hipotesis pembantu.
C. POSISI DASAR 1. Teori Bergerak Dalam Dinamika Pembuktian dan Penolakan Penolakan terhadap klaim kebenaran universal dilakukan melalui metode verifikasi maupun falsifikasi. Sejak lakatos diterima mengajar di London School of Economics dalam tahun 1960, dasar pemikiran diatas dikembangkan. Di institut ini, lakatos bertemu dengan Karl Popper dan John Watkins. Karya filosofis Lakatos dipengaruhi dialektika Hegel dan Marx serta teori ilmu pengetahuan dari Popper dan ahli matematika George Poyla. Buku Proofs And Refutations merupakan esai dalam bidang logika matematika. Dalam buku ini, Lakatos membuktikan bahwa teorema dalam ilmu matematika tidak memiliki kepastian mutlak sehingga sebagai sebuah hukum, teorema berlaku sejauh belum ada yang menentang dan menggantikannya. Hukum matematika adalah sarana yang digunakan untuk meramalkan atau memprediksi (conjecture) secara matematis. Dengan kata lain, hukum matematika berlaku sejauh tidak ada penolakan (counterexamples). Tidak ada teorema matematika yang bersifat final atau ferfect dengan kata lain tidak harus teorema pasti benar, tetapi bahwa belum ada lawannya yang membuktikan sebaliknya. Sekali sebuah teorema baru ditemukan tetapi tidak berhasil membatalkan teorema berlaku, maka kedudukan teorema tersebut menjadi kuat. Ini merupakan hal yang biasa
5
ix
dalam perkembangan pengetahuan yang berlangsung dalam dinamika pembuktian dan penolakan (proofs and refutations).
2. Heurisme Kata yunani eurike merupakan asal-usul kata heuristic dalam bahasa inggris yang melukiskan bahwa ilmu pengetahuan muncul sebagai sebuah penemuan (discovery) yang melewati dinamika trial and error. Ilmu pengetahuan pertama-tama bukan masalah pembuktian benar atau salah, melainkan insight yang ditemukan sebagai pemecahan masalah. Pengalaman “a-ha” (oh ini toh!) mengakhiri ketidaktahuan dan pencarian sebelumnya. Bagi Lakatos, matematika hanya membantu sebagai sarana untuk memahami sesuatu, tetapi matematika tidak memberi jaminan 100 persen kepastian ilmu pengetahuan. Sebagai sarana, matematika dapat membuktikan fakta kendati pembuktian matematis tersebut bersifat kuasiempiris. Lebih jauh Lakatos mengatakan bahwa matematikawan dapat memutuskan suatu bukti valid secara metematis, tetapi tidak secara dialektis, maka harus diterima bahwa validitas matematis bukanlah bukti empiris, kecuali itu merupakan usaha untuk memprediksi suatu kenyataan. Berdasarkan pandangan Lakatos mengenai matematika ini, ia mau memperlihatkan kelemahan pandangan empiris-positivistik dari Lingkaran Wina yang mengklaim bahwa pengetahuan ilmiah didapat melalui verifikasi semata. Kritik yang sama ditujukan Lakatos terhadap teori falsifikasi dari Popper yang mengatakan bahwa pengetahuan ilmiah hanya dapat diperoleh melalui falsifikasi. Dengan menggunakan konsep heurisme, Lakatos menunjukan kelemahan verivikasi, sekaligus mengatasi keduannya. Lakatos membandingkan teori falsifikasi dan perubahan pradigma dan menentukan kelemahan apabila keduannya dipakai sendiri-sendiri dalam upaya menyimpulkan pengetahuan yang benar. Dengan kata lain, falsifikasi dan perubahan paradigma masing-masing tidak cukup untuk menjelaskan kebenaran ilmiah, kecuali keduanya diintegrasikan dalam sebuah program riset yang progresif.
6
x
Pertama, teori Popper sering secara keliru dikutip untuk menjelaskan bahwa ilmuwan berhenti menggunakan sebuah teori segera setelah ditemukan bukti yang mempermasalahkan sebuah teori, dan segera menggantikannya dengan teori baru yang lebih baik. Secara singkat, tesis utama Popper adalah seruan bagi ilmuan untuk tidak lagi memakai teori yang terbukti tidak bisa difalsifikasi. Teori yang tidak difalsifikasi tidak laku lagi dan harus segera digantikan dengan teori baru (mengembangkan hipotesis baru yang lebih baik). Kedua, Kuhn menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan normal (didalam preiode tertentu) dan (akan) berhadapan dengan anomali-anomali yang berbaur sampai terjadi suatu perubahan baru. Tesis Kuhn adalah masyarakat ilmiah selalu menggunakan ilmu pengetahuan normal (normal science). Tesis Popper menolak inkonsistensi untuk menekan bahwa konsistensi adalah prinsip kebenaran ilmiah, maka ia menekankan apa yang seharusnya (de iure) dilakukan ilmuwan. Tesis Kuhn menerima inkonsistensi untuk menekankan bahwa apa yang kita pahami sebagai ilmu pengetahuan adalah secara aktual (de facto) dilakukan ilmuwan. Lakatos menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan berhubungan dengan dinamika pembuktian dan penolakan. Pembuktian mengeliminasi apa yang tidak terbukti dan apa yang tidak terbukti menjadi substansi penolakan sehingga keduannya menegaskan bahwa ilmu pengetahuan merupakan apa yang terbukti diterima secara rasional.
3. Hard Core dan Protective Bell Melalui perbandingan kedua tesis, Lakatos menemukan sebuah metodologi yang menyeimbangkan dua pandangan yang bertentangan itu, dengan maksud menyediakan sebuah uraian rasional mengenai perkembangan ilmu pengetahuan yang konsisten dengan data historis. Bagi Lakatos, apa yang kita pikirkan sebagai teori, meski sekecil apapun, bukan sesuatu yang sama sekali baru, tetapi merupakan lanjutan dari teori atau teknik penelitian yang selama ini berkembang dimasyarakat. Apa yang baru dan yang lama dapat bertemu sebuah titik, yakni kesamaan tertentu yang
7
xi
terdapat pada yang baru dan yang lama. Lakatos menamakan elemen yang sama pada teori lama dan baru sebagai hard core. Perubahan yang terjadi melalui riset menambahkan koleksi ilmu pengetahuan. Ilmuwan yang terlibat dalam sebuah progran penelitian harus menjaga inti teorinya (the theoretical core) dengan sabuk pelindung barupa hipotesis-hipotesis pendukung (auxiliary hypotheses) terhadap usaha-usaha yang menyanggahnya.
4. Program Riset Progresif Berbeda dengan Popper yang menganggap hipotesis pendukung hanya bersifat ad hoc, Lakatos ingin memperlihatkan bahwa penggunaan hipotesis pendukung bukanlah hal yang tidak berguna, melainkan hal penting dalam riset tanpa harus bertanya apakah sebuah hipotesis benar atau salah. Lakatos mengemukakan bahwa petanyaan yang lebih penting mengenai ilmu pengetahuan bukan soal “benar” (melalui verifikasi) atau “salah” (melalui falsifikasi), melainkan apakah program riset yang kita buat lebih baik dari pada yang lain sehingga kita melakukan dengan gembira sebagai pilihan yang lebih baik? Dalam bahasa Lakatos, apakah program riset kita bersifat progresif. Artinya, hard core riset dibangun dalam sebuah prosedur yang didukung oleh hipotesis pendukung yang mengamankan riset untuk mencapai tujuannya. Sebuah program riset bersifat progresif (berkembang) apabila ada perkembangan berupa penemuan fakta baru, pengembangan teknik eksperimen yang baru, akurasi prediksi yang lebih jitu, dan lain-lain. Apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi dalam sebuah program riset, maka program riset tersebut bersifat degeneratif karena tidak menunjukan perkembangan yang memungkinkan penemuan fakta baru. Program riset yang bersifat progresif ditandai oleh kemajuankemajuan dalam menemukan fakta baru yang spektakuler, pengembangan teknik pengamatan teknik pengamatan yang baru, prediksi yang lebih jitu, dan seterusnya. Sebaliknya, suatu program riset tersebut bersifat
8
xii
degeneratif apabila tidak ada kemajuan dan penemuan fakta baru, terutama karena tidak ada hipotesis pendukung yang berfungsi sebagai sabuk pengaman hard core penelitian, lalu menjadi hambatan lagi bagi penemuan fakta baru. Program riset yang diperkenalkan oleh Lakatos merupakan alternative untuk mengatasi kelemahan verifikasionisme dan falsifikasionisme. Program riset adalah sebuah metode empiris yang secara realistis menyintesiskan metode verifikasi dan falsifikasi melalui sebuah program riset yang ingin mempertahankan apa yang ada didalam filsafat ilmu pengetahuan T. Kuhn dinamai ilmu pengetahuan normal sambil memberi tempat pada penggunaan hipotesis-hipotesis baru untuk menguji kebenaran ilmiah. Program riset memperhatikan teori dalan konteks ilmiah bahwa inti program riset harus terus-menerus diperkuat oleh pengujian-pengujian atau hipotesis yang tak terbatas, dengan demikian inti program riset terusmenerus diperbaiki menjadi pengetahuan ilmiah. Dengan ini, Lakatos ingin mempertahankan aspek historisitas ilmu pentegahuan dari T. Kuhn dengan mempratikkan falsifikasi Popperian yang diperlunak.
D. PERLUNYA PENDEKATAN YANG MENYELURUH Apa perbedaan pendekatan parsial dengan pendekatan komprehensif mengenai problem ilmu pengetahuan? Pendekatan parsial menekankan aspek tertentu yang menurutkan penulisnya menjadi metode yang paling representatif, dan karena itu lebih unggul dibandingkan dengan pendekatan parsial merupakan salah satu dari pendekatan menekankan metodenya yang dianggap paling unggul untuk menjelaskan, memahami, dan mengatasi problem ilmu pengetahuan. Buku ini merupakan usaha untuk melihat problem ilmu pengetahuan sebagai suatu masalah yang kompleks. Karena itu, pendekatan interdisiplin menjadi pilihan untuk mendorong kerja sama yang memanfaatkan setiap metode secara kritis bagi pemahaman dan pemecahan masalah ilmu pengethuan. Sebagai sebuah bacaan filsafat ilmu pengetahuan, buku ini membicarakan problem ilmu pengetahuan dari sudut yang berbeda-beda, yakni ontologi, epistimologi, dan
9
xiii
etis, tetapi saling melengkapi untuk menjelaskan, memahami, dan memecahkan problem ilmu pengetahuan yang dihadapi manusia sebagai pribadi, kelompok, dan masyarakat secara mendasar, rasional, dan etis.
1. Yunani Sebagai Asal-Usul Filsafat Pada awal abad VI sebelum masehi, terkenallah tujuh orang bijaksana di Melitos, Yunani, yaitu Thales, Kleobulos, Peirandos, Solon, Bias, Pittakos, dan Chilon. Mereka menerobos batas-batas kebiasaan yang tidak mempertanyakan secara rasional pengalaman sehari-hari, dengan bertanya tentang hakikat atau asal usul, arkhe, dari kenyataan yang tampak dalam pengalaman kehidupan sehari-hari. Mereka disebut filsuf terutama karena mereka memperlihatkan kemampuannya menerobos lingkaran kebiasaan yang tidak mempersoalkan hal ihwal sehari-hari. Dalam perkataan C.A Van Peursen, sesorang mulai berfilsafat ketika ia mulai mempertanyakan hal-hal yang bagi kebanyakan orang beranggapan biasabiasa saja. Dengan kata lain, bagi seorang filsuf tidak ada sesuatu di dunia ini yang biasa-biasa saja, tetapi luar biasa. Tujuh orang bijaksana tersebut tidak muncul secara tiba-tiba dalam kancah kehidupan bangsanya. Mereka lahir, bertumbuh, dan berkembang dewasa dalam masyarakat bangsanya dengan suatu pola pikir yang berbeda dari orang kebanyakan dengan suatu pola pikir yang berbeda dari orang kebanyakan. Mereka ingin mengubah cara pandang masyarakatnya yang selama ini menjelaskan kenyataan berdasarkan mitos, yakni cerita-cerita mengenai asal-usul alam semesta yang bersifat turun-temurun tanpa mempertanyakan kebenarannya secara kritis. Keberanian menerobos kebiasaan berpikir mistis (berdasarkan mitos) menjadi berpikir logis (berdasarkan logos atau pertimbangan akal budi) menandai peralihan suatu era, dari mitos ke logos. Yang menarik ialah logos mengenai arkhe (asas atau prinsip) sejak awal sudah menimbulkan perbedaan pendapat di antara para filsuf dan ini merupakan problem ilmu pengetahuan yang paling awal, yakni problem ontologis.
10
xiv
Ontologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) mengenai asal-usul (arkhe) dari apa yang tampak sebagai kenyataan (ontos). Thales mengambil “air” sebagai arkhe atau subtansi terdalam (hakikat), yang menentukan semua kenyataan. Anaximandros mengatakan hakikat kenyataan harus merupakan “sesuatu yang tak terbatas” atau to apeiron. Alasannya, apabila kita menerima bahwa hakikat dari kenyataan adalah “air”, maka bagaimana kita menjelaskan dan memahami bahwa air itu asal-usul dari api? Anaximandros meyakini asal-usul alam semesta haruslah sesuatu yang bersifat tak terbatas yang memungkinkan adanya unsur-unsur yang bertentangan, sepseti air (basah) dan api (kering). Anaximandros menyebut “udara” sebagai asal-usul atau hakikat kenyataan karena melalui proses pemadatan dan pengenceran, udara menghasilkan gejala konkret (kenyataan) dalam bentuknya sebagai air atau api. Empedokles mengatakan hakikat kenyataan adalah “api, udara, tanah dan air”. Menurut dia, seluruh kenyataan berasal-usul dari empat unsur tersebut karena pada prinsipnya semua hal dapat dikembalikan kepada anasir-anasir dasar tersebut. Pemikiran ontologis tersebut dilanjukan oleh para filsuf belakangan, seperti Herakleitos dan Parmenides. Akan tetapi pencarian rasional mengeani hakikat kenyataan oleh Herakleitos, Parmenides, dan Plato tidak lagi mengacu pada anasir alam, melainkan pada idea atau pemikiran. Herakleitos meyebut hakikat kenyataan adalah perubahan. Menurut dia, realitas tampak bagi kita sebagai sesuatu yang tidak tetap, tetapi sesuatu yang selalu berubah. Plato mengembangkan pemikiran ontologism tersebut dalam filsafatnya mengenai asal-usul kenyataan pad aide tentang yang baik (bonum atau the good). Bagi Plato, ide merupkan asal-usul kenyataan. Ide merupakan the really real karena apa yang tampak sebagai kenyataan (phenomenon) hanyalah tiruan (mimesis) apa yang sesungguhnya ada. Kenyataan bersifat majemuk disimpulkan secara deduktif dari suatu prinsip, yakni idea universal. Aristoteles melanjutkan pembicaraan mengenai hakikat secara metafisis dari dunia phenomenon yang tampak majemuk menyimpulkan adanya prinsip pemersatu sebagai idea universal. Secara metodik, Plato merumuskan hakikat kenyataan secara deduktif berpusat
11
xv
pada idea universal, sedangkan Aristoteles merumuskan hakikat kenyataan melalui cara induktif, yakni dari apa yang tampak dan dialami dalam pengalaman. Dari sana disimpulkan “prinsip universal” yang mendasari kenyataan majemuk. Tidak di sangkal bahwa pendekatan Ontologis dalam filsafat ilmu pengetahuan membawa kemajuan berupa pengenalan hakikat kenyataan menurut aspek-aspek tertentu, tergantung pada bagaimana ontology digunakan oleh aliran-aliran seperti realism, naturalism, dan empirisme dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Pendekatan Ilmu Pengetahuan Dalam Context Of Integration Ilmu pengetahuan pada hakikatnya bersifat rasional, metodis, dan sistematis. Bahasa ilmu pengetahuan menekankan argument yang logis sehingga siapa pun dapat memahami dengan menggunakan rasio. Sifat logis tersebut menuntut disiplin berfikir yang dilakukan secara terencana untuk mencapai sebuah tujuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan bersifat metodis. Berdasarkan sebuah cara untuk mencapai tujuan penjelasan ilmiah, maka metode menekankan cara menjelaskan sesuatu secara menyeluruh sebagai sebuah system yang memudahkan pemahaman yang bersifat komprehensip. Dengan demikian, problem ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek ontologism, epistimologis, dan etis yang dapat dilihat sebagai sudut pandang berbeda mengenai realitas. Perbedaan sudut pandang tersebut dapat diintegrasikan dalam sebuah cara yang menekankan rasio sebagai pinsip untuk memahami persoalan ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Dengan kata lain, perdekatan ilmu pengetahuan bersifat ateis, yang berate pendekatan itu secara tidak langsung dikaitkan dengan masalah ketuhanan dalam iman kepercayaan apa pun. Hal ini berarti bahwa pendasaran ilmu pengetahuan adalah akal budi, bukan iman-kepercayaan. Iman-kepercayaan itu penting, tetapi tidak digunakan untuk menjelaskan kebenaran ilmu pengetahuan. Iman kepercayaan membantu dengan memberi motif bagi manusia untuk menerima keterbatasan akal budi, tetapi
12
xvi
tidak membatalkan pendasaran ilmu pengetahuan pada perhitungan nasional. Kontroversi mengenai hubungan ilmu dan iman sesunguhnya sudah menjadi masalah yang serius sejak percepatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diakhir abad XX menghasilkan prestasi-prestasi yang gemilang. Bom atom yang digunakan dalam perang dunia II menunjukan kemampuan manusia mengunakan akal budinya menciptakan teknologi yang berpotensi mengakhiri kehidupan secara mengerikan. Bercermin pada kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak hanya menghasilkan kemajuan, tetapi juga merusak kehidupan, para ilmuwan mulai berfikir untuk menintegrasikan pandangan agama dan ilmu pengetahuan mengenai kehidupan, bahwa kisah penciptaan dan riwayat ilmu biologi dapat saling melengkapi pemahaman manusia tentang makna kehidupan. Ahli fisika modern F. Capra mengatakan bahwa pemisahan ilmu dan iman merupakan pernyataan yang salah mengenai realitas. Capra menyoroti hubungan ilmu dan iman sebagai paradigma baru mengenai pemahaman yang benar tentang realitas. Capra melihat paradigma baru tersebut sebagai titik balik (turning point) yang menghargai secara seimbang fisika sebagai ilmu metafisika sebagai sebuah system kepercayaan yang mendasari pemahaman realitas fisik. Pemikiran mengenai turning point merupakan perubahan pandangan ilmiah mengenai alam sebagai kesatuan akal budi dan iman. Dalam the turning point Capra berpendapat bahwa model-model fisika dewasa ini menyiratkan sebuah paradigma baru. Ia memberi contoh Faraday dan Maxweel, sewaktu memperlajari tenaga listrik dan magnet, menemukan bahwa adalah lebih masuk akal untuk berbicara mengenai suatu “medan magnet” (Force Field) dari pada magnet begitu saja. Dengan teori medan magnet, kita bisa menjelaskan bahwa magnet menimbulkan imbas atas benda lain dan seterusnya. Teori ini berbeda dengan teori newton yang mengatakan bahwa medan magnet merupakan kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dipelajari sendiri dan dapat dipelajari tanpa menghubungkan dengan benda lain.
13
xvii
Eintein pun mengoreksi Newton yang menjelaskan cahaya menurut teori tentang magnet. Bagi Eintein, cahaya itu bukanlah apa-apa, melainkan suatu perubahan wilayah elektromagnetik secara cepat melalui ruang dalam bentuk gelombang, entah kita memahami cahaya sebagai (yang memiliki massa) atau sebagai gelombang, bergantung pada pengamatan dan system ukuran yang digunakan. Capra membenarkan pandangan Eintein bahwa revolusi riil yang dihasilkan oleh teori Eintein merupakan penolakan terhadap gagasan system koordinat ruang dan waktu sebagai hal yang bernilai objektif sebagai entitas fisis yang terpisah yang disalahartikan oleh Newton. Eintein yang mengajukan teori relativitas menyiratkan bahwa koodinat ruang dan waktu hanyalah elemen bahasa yang digunakan manusia untuk melukiskan situasi.
14
xviii
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Imre Lakatos lahir di Hungaria pada tanggal 9 Nopember 1922. Menyelesaikan studi di University of Debrecen pada bidang Matematika, Fisika, dan Filsafat. Pada tahun 1968 Lakatos menerbitkan karyanya yang berjudul: Criticism and the methodology of scientific programmes. Lakatos meninggal pada 2 Februari 1974 di London sebelum menyelesaikan karyanya yang berjudul: “The Changing Logic Of Scientific Discovery”. Pemikiran Imre Lakatos banyak dipengaruhi oleh pemikiran Popper tentang falsifikasi dan pemikiran Kuhn tentang adanya paradigm dalam ilmu pengetahuan. Sehingga Lakatos menggabungkan hasil dari pemikiran kedua tokoh tersebut dengan menggagas metodologi program riset, bahwa sebuah ilmu pengetahuan harus dibuktikan melalui sebuah program riset. Terdapat elemen-elemen penting dalam metodologi program riset imre lakatos, yaitu: a. Hardcore berfungsi sebagai heuristic negatif. b. Protective-belt yang terdiri dari hipotesa-hipotesa bantu (auxiliary hypothese) dalam kondisi-kondisi awal.
B. SARAN Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, jika ada kesalahan atau kekurangan harap dimaklumi dan diberi saran agar penulis bisa memperbaiki kesalahan yang ada dan mampu mengembangkan lebih baik akan makalah ini.
15
xix
DAFTAR PUTAKA
Mohammad Tamtowi,Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos Bagi Pengembangan Studi Islam , Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Dan Asumsi Dasar Paragigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yoyakarta, 2004 Poespowardojo, T.M. Soerjanto dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Kompas, Jakarta, 2015 Simon Blackburn, Kamus Filsafat, Pustaka Pelajar , Yogyakarta, 2013 Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu, Interkoneksi-Interkoneksi, Yogyakarta, 2016 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2016
Komentar
Posting Komentar